Al-'Ashr

<a href="http://www.clock4blog.eu">clock for blog</a>
Free clock for your blog

Sabtu, 28 April 2012

Lima Langkah Meraih Akhlaq Mulia


Oleh: Abu Umar Al Bankawy
Akhlaq yang mulia bisa dimiliki apabila seseorang berusaha keras memperbaiki serta membiasakan diri agar memperolehnya. Allah ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al Ankabuut: 69)
Akhlaq yang mulia bisa diperoleh dengan usaha-usaha sebagai berikut:
Pertama:
Hendaknya seseorang senantiasa memperhatikan dalil-dalil dari Al Quran dan As Sunnah yang berkaitan dengan keutamaan akhlaq yang terpuji.
seperti firman Allah ta’ala :
الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالأسْحَارِ
“(Yaitu) orang-orang yang sabar, yang jujur, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.” (Ali Imran: 17)
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا
“Dan hamba-hamba Rabb yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (Al Furqan: 63)
وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Al Furqan: 72)
Demikian juga dia melihat apa yang datang dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti,
إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقاً
“Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya”. (Muttafaqun ‘alaihi).
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا
“Sesungguhnya, di antara orang yang paling aku cintai dan paling dekat dengan majelisku di hari kiamat nanti adalah orang yang terbaik akhlaknya di antara kalian. (HR. At Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)
Dengan memperhatikan dalil-dalil seperti ini maka seseorang akan terpacu untuk berakhlaq mulia.
Kedua:
Berteman dengan orang-orang shalih yang berakhlaq mulia, yang dikenal dengan ilmu dan amanahnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّمَا مَثلُ الجَلِيسِ الصَّالِحِ وَجَلِيسِ السُّوءِ ، كَحَامِلِ المِسْكِ ، وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ: إمَّا أنْ يُحْذِيَكَ ، وَإمَّا أنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإمَّا أنْ تَجِدَ مِنْهُ ريحاً طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الكِيرِ: إمَّا أنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإمَّا أنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحاً مُنْتِنَةً
“Permisalan teman yang baik dan teman buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi, Adapun penjual minyak wangi maka mungkin saja dia menghadiahimu minyak wangi, atau engkau dapat membeli minyak wangi darinya, atau setidaknya engkau dapati aroma yang harum darinya. Adapun si pandai besi, mungkin saja dia membakar bajumu, atau setidaknya engkau akan mencium aroma tak sedap dari dirinya.” (HR. Al Bukhari)
Maka hendaknya seseorang yang ingin untuk memiliki akhlaq yang mulia berteman dengan orang yang dikenal berakhlak baik yang dapat menolong memperbaiki akhlaqnya dan menjauh dari teman yang berakhlak jelek dan sering melakukan perbuatan yang hina.
Ketiga:
Hendaknya seseorang memperhatikan apa yang diakibatkan oleh akhlak yang buruk, karena akhlak yang buruk dibenci, dan buruk akhlak itu dijauhi, dan buruk akhlak itu disifati dengan sifat yang jelek.
Allah berfirman,
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ (٢٢١)تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ (٢٢٢)يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ (٢٢٣)
“Maukah aku beritakan kepadamu, kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap affak (pendusta) lagi atsim (yang banyak dosa), Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaitan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.” (Asy Syu’ara: 221-223)
Maka jika seseorang mengetahui bahwa berakhlak buruk itu mengantarkan kepada hal ini, maka hendaknya ia menjauhinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Al Bukhari)
Keempat:
Hendaknya dia senantiasa menghadirkan dalam benaknya gambaran akhlak Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Allah ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (Al Ahzab: 21)
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al Qalam: 4)
Kelima :
Senantiasa berdoa, meminta kepada Allah agar dianugerahi akhlaq yang mulia
Beberapa doa yang warid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam di antaranya adalah sebagai berikut,
اللَّهُمَّ أَحْسَنْتَ خَلْقِي فَأَحْسِنْ خُلُقِي
“Ya Allah Engkau telah memperbagus penciptaanku, maka baguskanlah akhlakku.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)
اَللَّهُمَّ أَهْدِنِيْ ِلأَحْسَنِ اْلأَعْمَالِ ، وَأَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ ، لاَ يَهْدِي ِلأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ ، وَقِنِي سَيِّئِ اْلأَعْمَالِ ، وَسَيِّئِ اْلأَخْلاَقِ ، لاَ يَقِي سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Ya Allah berilah petunjuk kepadaku untuk berbuat sebaik-baik amalan, sebaik-baik akhlak, tidak ada yang bisa menunjuki untuk berbuat sebaik-baiknya kecuali Engkau. Dan lindungi kami dari jeleknya amalan dan jeleknya akhlak, dan tidak ada yang melindungi dari kejelekannya kecuali Engkau”. (HR. An Nasa’i)
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ اْلأّخْلاَقِ وَاْلأَعْمَالِ وَاْلأَهْوَاءِ وَاْلأَدْوَاءِ
“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari kemungkaran-kemungkaran akhlak, amalan-amalan, hawa nafsu, dan penyakit-penyakit.” (HR. AtTirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Referensi:
Makarimul Akhlaq, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Qutufun min Syamaaili Muhammadiyyah, Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Sumber: http://www.salafy.or.id

Kamis, 26 April 2012

Kerusakan Moral dan Solusi Islam



Sekarang ini, karena pengaruh internet yang demikian luas penggunaannya, gaya berpacaran remaja di wilayah perdesaan kian mengkhawatirkan. Remaja kini tidak lagi sungkan mengajak teman sebayanya untuk berhubungan seks di luar nikah karena termakan propaganda pergaulan bebas di televisi maupun situs internet.

"Umumnya, remaja usia 15 tahun atau yang dikenal dengan sebutan ABG sampai mahasiswa semester awal yang berkonsultasi mengaku pernah berhubungan intim dengan pacarnya," kata Psikolog Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPP dan KB) Bahkan, ia melanjutkan, ada yang setiap kali ganti pacar selalu berhubungan suami istri.

Tidak diragukan bahwa prilaku menyimpang di atas adalah produk jahiliyah modern) yang acuh terhadap nilai-nilai agama dan moral.Pada edisi kali ini mari kita mencoba menelusuri sejarah moral dalam kejahiliyahan modern. Salah satu tujuannya agar kita mengetahui apakah kejahiliyahan modern itu sedang menanjak atau  mengalami kemerosotan. Sebab tidak sedikit yang silau memandang segala yang datang dari barat sangat manusiawi atau identik dengan kemajuan.


Latar Belakang Kehancuran Moral Bangsa BaratPada abad pertengahan ajaran moral yang mendominasi Benua Eropa adalah Nasrani, seperti yang digambarkan oleh kekuasaan gereja di eropa. Nabi Isa as. mengajarkan kehidupan zuhud dan menghindari kesenangan jasmani secara berlebih-lebihan. Dan ini adalah juga ajakan setiap Nabi kepada umat mereka masing-masing.

Di zaman Nabi Isa persoalan ini ditekankan kembali oleh beliau karena ia melihat ketika itu manusia hidup dalam keserakahan yang menjadi-jadi  dalam mengejar materi. Akibat keserakahan itu, sedikit demi sedikit mempengaruhi stabilitas moral Bani Israil dan penguasa Romawi. Di dalam injil Matius dikatakan, “tetapi aku berkata padamu setiap yang memandang perempuan dan menginginkannya maka ia sudah berzina dengan dia dalam hatinya.

Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau cungkillah dan buanglah itu,karena lebih baik bagi engkau jika salah satu anggota tubuhmu binasa daripada tubuhmu dengan utuh dicampakkan dalam neraka Dari ucapan tersebut di atas dan yang serupa dengannya, maka gereja menetapkan aturan-moral ketat kepada para pengikutnya. Di kemudian hari lahirlah sistem kerahiban yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi Isa 'Alaihissalam

lebih jauh dan ekstrim, gereja membuat doktrin bid'ah yaitu bahwa seks adalah kotor,wanita adalah makhluk mirip setan yang wajib dijauhi, pernikahan adalah kebutuhan naluriah hewaniyah ! Sebaliknya manusia yang paling bahagia dan besar takwanya adalah sanggup “meningkatkan” kwalitas diri dan tidak menikah.
Dalam kurun waktu yang panjang kemesuman dan kebejatan moral meluas di tengah masyarakat Romawi. Sebagai reaksinya meluas pula penolakan dengan menjamurnya sistem kerahiban (hidup membujang dan menjauh dari gemerlap materi).

Abul Hasan Ali an-Nadawi mengutip ucapan Lucky (sejarah moral Eropa), ia mengatakan, “pada masa itu dunia terombang ambing oleh sistem kerahiban produk gereja yang sangat ekstrem dan maksiyat yang melampaui batas, justru di kota-kota yang paling banyak terjadi pencabulan dan kemesuman. Pada saat itu kejahatan dan kerahiban bisa menjadi dua hal yang berbeda dalam satu paket”

Selanjutnya Lucky mengatakan, “para rahib itu lari jika melihat bayangan wanita, mereka merasa berdosa jika berada atau berkumpul dekat wanita. Mereka berkeyakinan bahwa bertemu dengan wanita di pinggir jalan atau bercakap-cakap dengannya-meski wanita itu adalah ibu, saudari kandung atau bahkan  istri sendiri- maka itu akan menghapuskan amal kebajikan ”.

Inilah pandangan dasar mereka tentang wanita. Bagi kaum rahib itu, wanita adalah pintu neraka. Wanitalah yang mengeluarkan laki-laki dari sorga. Andai bukan godaan wanita mungkin manusia beranak pinak di surga dan bukan di bumi.

sampai tiba pada satu masa, Eropa dengan pandangan jahiliyahnya yang penuh dengan penyelewengan, timbul reaksi jahiliyah yang lebih hebat lagi. Kerusakan mengerikan yang terjadi di biara-biara dengan berbagai tindak kemesuman antara rahib pria dan wanita merupakan pukulan hebat yang menggoyangkan sendi-seni kerahiban. Belum lagi dengan hukum sadis (INKUISISI) yg diterapkan oleh pihak gereja terhadap para pelanggar aturan moral, seperti pencungkilan mata, memotong atau menusuk alat kemaluan dst., memicu kebencian rakyat pada pihak gereja berikut produk undang-undangnya. Akhirnya manusia pada zaman itu muak dan memalingkan diri dari hidup “suci” dan tidak peduli dengan semua akibatnya. Mereka akhirnya dengan liar mengejar-ngejar kelezatan syahwat.

Semua itu tidak terjadi begitu saja, tapi terjadi perlahan-lahan.Kelompok yang berusaha mempertahankan moral masyarakat terus menerus meneriakkan kebebasan seks. Sebaliknya kelompok yang membela  “perkembangan” dan “kemajuan” membagus-baguskan dekadensi moral. Hanya saja kelompok yag kedua menyebarkan idenya dengan berbagai sarana.

Semua ini merupakan praktek dari budaya jahiliyah modern yang menyeleweng jauh dari tuntutan ilahi sehingga kebobrokan sedemikian jauh mencapai puncaknya. Kaum wanita telah bebas, semua manusia yang berada dalam belenggu jahiliyah telah “bebas” sebebas-bebasnya dari belenggu agama, moral dan tradisi. Pergaulan bebas antara pria dan wanita akhirnya menjadi norma yang diakui.

William Durant, berkata tentang kebobrokan moral jahiliyah modern, “Perkawinan dua orang. suami istri dalam masyarakat moderen bukanlah perkawinan dalam arti sebenarnya, ia tidak lebih dari hubungan biologis semata-mata. Perkawinan tidak dilandasi atas dasar yang kokoh pasti cepat pudar karena terpisah dari tujuan hidup dan tujuan melestarikan keturunan. Pada akhirnya hubungan seperti itu membuat jiwa pasangan suami istri menciut sehingga menjadi dua individu yang serupa dengan dua keping benda yang terpisah sama sekali ”

Demikianlah seterusnya, hari ini kita saksikan hampir semua negara menikmati “berkah kebebasan” dari belenggu agama dan moral. Hampir semua telah menikmati “manisnya” hubungan bebas antara pria dan wanita lepas dari berbagai jenis ikatan moral. Di Amerika Serikat-negeri yang menghalalkan segala rupa kemesuman- melindunginya dengan kekuasaan legislatif. Bahkan ada yang melangkah lebih jauh, beberapa negara di Eropa seperti Belanda telah mengakui hubungan “suami istri” dari sesama jenis.

Sayang seribu sayang di negeri Muslim seperti Indonesia, juga sekumpulan orang yang merasa jadi pahlawan dengan menganjurkan kebebasan seperti Prof. Musda Mulia. Guru besar salah satu perguruan tinggi ini intens memberikan pembelaan terhadap kaum gay dan lesbian. Jika dukungan dan propaganda meluas entah akan menjadi apa negeri mayoritas Muslim ini. Wallahul musta'an

Islam adalah SolusiIslam adalah Manhajul Hayat (sistem kehidupan) yang membimbing manusia menuju jalan keselamatan. Tidak ada perintah yang tertuang dalam ajaran Islam kecuali di sana ada maslahat. Sebaliknya tidak larangan yang tertuang dalam kecuali di sana ada mudharat yang menghadang. Itulah sebabnya Islam menolak sama sekali

kedunguan jahiliyah modern. Pria dan wanita dipertemukan bukan untuk hiburan dan bersenang-senang semata tanpa tujuan. Tujuan universal dari pertemuan kedua makhluk beda jenis ini untuk melahirkan masyarakat mulia dan bertakwa. Allah berfirman, “wahai manusia hendaklah kalian bertakwa pada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa. Dan dari jiwa itulah Allah menciptakan pasangannya. Lalu dari keduanyalah Allah menyebarkan banyak pria dan wanita…” (an-Nisa':1)

Jadi, pertemuan antara pria dan wanita bukan pertemuan gila-gilaan tanpa aturan dan tidak bertujuan kecuali  membangkitkan dan mengompori naluri negatif. Tidak sama sekali ! Jika ini mewabah di tengah masyarakat maka ini sangat berbahaya, sebab salah satu pintu kebinasaan umat dahulu adalah dikala mereka memperturutkan syahwat tanpa kendali.

Di dalam Islam, pernikahan adalah jalan terbaik dalam membina hubungan laki-laki dan perempuan. Pernikahan dalam pandangan Islam tidak semata-mata penyaluran kebutuhan biologis dan setelah semua itu tersalurkan maka selesai sudah. Tidak ! Tapi, di sana ada tanggung jawab dari kedua belah pihak. Di sana ada kewajiban menafkahi, membesarkan dan mendidik anak-anak yang lahir dari hubungan harmonis tersebut. Di sana ada kewajiban untuk terus membina harmonisasi antara suami dan istri, antara orangtua dan anak dan kewajiban menyambung hubungan kekerabatan dari keluarga laki-laki dan dari keluarga perempuan. Jika ini berlangsung dengan baik, maka sungguh ini sebuah harmoni kehidupan yang indah, hidup harmoni yang sangat diimpi-impikan oleh jahiliyah modern yang berada di ujung keruntuhan []
Halaman Oase
Manfaat Menjaga Kesucian Diri
Menjaga diri dari kekotoran moral memiliki banyak manfaat. Di antaranya Alllah akan menjaganya dan keturunannya.

Allah ta'ala akan menjaga kelurga,harta, jiwa, kehidupan masa kini dan masa depan, dan bahkan segala urusannya. Hal ini telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sabda beliau  yang cukup terkenal,

“ Jagalah Allah, Niscaya Ia akan menjagamu. Jagalah Allah Niscaya Engkau temukan Ia di Hadapanmu” (H.R.Tirmidzi)

Para Ulama mengatakan ketika menafsirkan hadis ini; Jagalah Allah Artinya, jagalah Ia dalam Perintah dan larangan-larangan Nya, dengan menjalankan perintah Nya dan menjauhi larangan Nya.

Apa Hasilnya? “Niscaya Allah akan menjagamu”. Allah akan menjaga anda, keluarga anda, anak anda, harta benda, masa depan anda di dunia. Juga Allah akan menjaga agama anda dan masa depan anda di akhirat.

Seperti ini pula yang dikatakan Allah dalam surah Al Kahfi ayat 82,
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, adapun ayahnya adalah orang yang shaleh”
Ibnu Katsir, ketika member tafsir ayat ini, beliau mengatakan, ini menunjukkan bahwa orang yang shaleh itu akan dijaga keturunannya. Dan berkah ibadahnya juga mencakup keturunannya di dunia dan di akhirat karena syafaatnya untuk mereka, juga akan mengangkat derajat mereka ke surga yang tertinggi.

Dinukil dari Ibnu Abbas, terkait penafsiran kedua anak yang disebutkan dalam ayat ini: bahwa mereka dijaga karena kesholehan ayahnya dan tidak dijelaskan bahwa kedua anak itu adalah anak yang sholeh.

Said Ibnul Musayyid berkata kepada anaknya: Sesungguhnya aku akan menambah shalatku untukmu dengan harapan engkau akan dijaga karenaku. Lalu beliau membaca ayat tersebut di Atas.

Umar bin Abdul Aziz berkata, tidak ada seorang mukmin yang meninggal dunia, melainkan Allah akan menjaga keturunannya dan keturunan keturunannya, maka bergembiralah orang-orang yang senantiasa menjaga akhlak dan moralnya serta istiqamah di jalan Allah karena ia adalah manusia yang paling banyak mendapatkan penjagaan dari Allah karena ia menjaga perintah-perintah Allah.
Dan balasan itu setimpal dengan amal.
(Sumber: “Meniti Jalan Istiqamah”  Syaikh Musnid al-Qahthany)

Rabu, 25 April 2012

Pengertian dan Hukum Zina


PENGERTIAN ZINA

Ialah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa nikah yang sah mengikut hukum syarak (bukan pasangan suami isteri) dan kedua-duanya orang yang mukallaf, dan persetubuhan itu tidak termasuk dalam takrif (persetubuhan yang meragukan).

Jika seorang lelaki melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan, dan lelaki itu menyangka bahawa perempuan yang disetubuhinya itu ialah isterinya, sedangkan perempuan itu bukan isterinya atau lelaki tadi menyangka bahawa perkahwinannya dengan perempuan yang disetubuhinya itu sah mengikut hukum syarak, sedangkan sebenarnya perkahwinan mereka itu tidak sah, maka dalam kes ini kedua-dua orang itu tidak boleh didakwa dibawah kes zina dan tidak boleh dikenakan hukuman hudud, kerana persetubuhan mereka itu adalah termasuk dalam wati’ subhah iaitu persetubuhan yang meragukan.

Mengikut peruntukan hukuman syarak yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith yang dikuatkuasakan dalam undang-undang Qanun Jinayah Syar’iyyah bahawa orang yang melakukan perzinaan itu apabila sabit kesalahan di dalam mahkamah wajib dikenakan hukuman hudud, iaitu disebat sebanyak 100 kali sebat. Sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang bermaksud :

“Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina, hendaklah kamu sebat tiap-tiap seorang dari kedua-duanya 100 kali sebat, dan janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan hukum Agama Allah, jika benar kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat, dan hendaklah disaksikan hukuman siksa yang dikenakan kepada mereka itu oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”. (Surah An- Nur ayat 2)

ZINA TERBAHAGI KEPADA DUA :

1. ZINA MUHSAN
2. ZINA BUKAN MUHSAN

ZINA MUHSAN

Iaitu lelaki atau perempuan yang telah pernah melakukan persetubuhan yang halal (sudah pernah berkahwin)

ZINA BUKAN MUHSAN

Iaitu lelaki atau perempuan yang belum pernah melakukan persetubuhan yang halal (belum pernah berkahwin).

Perzinaan yang boleh dituduh dan didakwa dibawah kesalahan Zina Muhsan ialah lelaki atau perempuan yang telah baligh, berakal, merdeka dan telah pernah berkahwin, iaitu telah merasai kenikmatan persetubuhan secara halal.

Penzinaan yang tidak cukup syarat-syarat yang disebutkan bagi perkara diatas tidak boleh dituduh dan didakwa dibawah kesalahan zina muhsan, tetapi mereka itu boleh dituduh dan didakwa dibawah kesalahan zina bukan muhsan mengikut syarat-syarat yang dikehendaki oleh hukum syarak.

HUKUMAN YANG DIKENAKAN KEATAS ORANG YANG ZINA MUHSAN DAN BUKAN MUHSAN

Seseorang yang melakukan zina Muhsan, sama ada lelaki atau perempuan wajib dikenakan keatas mereka hukuman had (rejam) iaitu dibaling dengan batu yang sederhana besarnya hingga mati. Sebagaimana yang dinyatakan di dalam kitab I’anah Al- Thalibin juzuk 2 muka surat 146 yang bermaksud :

”Lelaki atau perempuan yang melakukan zina muhsan wajib dikenakan keatas mereka had (rejam), iaitu dibaling dengan batu yang sederhana besarnya sehingga mati”.

Seseorang yang melakukan zina bukan muhsan sama ada lelaki atau perempuan wajib dikenakan ke atas mereka hukuman sebat 100 kali sebat dan buang negeri selama setahun sebagaimana terdapat di dalam kitab Kifayatul Ahyar juzuk 2 muka surat 178 yang bermaksud :

”Lelaki atau perempuan yang melakukan zina bukan muhsin wajib dikenakan keatas mereka sebat 100 kali sebat dan buang negeri selama setahun”.

PEREMPUAN YANG DI ROGOL DAN DI PERKOSA

Perempuan-perempuan yang dirogol atau diperkosa oleh lelaki yang melakukan perzinaan dan telah disabit dengan bukti –bukti yang diperlukan oleh syarak dan tidak menimbulkan sebarang keraguan dipihak hakim bahawa perempuan itu dirogol dan diperkosa, maka dalam kes ini perempuan itu tidak boleh dijatuhkan dan dikenakan hukuman hudud,dan ia tidak berdosa dengan sebab perzinaan itu.

Lelaki yang merogol atau memperkosa perempuan melakukan perzinaan dan telah sabit kesalahannya dengan bukti – bukti dan keterangan yang dikehendaki oleh syarak tanpa sebarang keraguan dipihak hakim, maka hakim hendaklah menjatuhkan hukuman hudud keatas lelaki yang merogol perempuan itu, iaitu wajib dijatuhkan dan dikenakan ke atas lelaki itu hukuman rejam dan sebat.

Perempuan-perempuan yang telah disabitkan oleh hakim bahawa ia adalah dirogol dan diperkosa oleh lelaki melakukan perzinaan, maka hakim hendaklah membebaskan perempuan itu dari hukuman hudud (tidak boleh direjam dan disebat) dan Allah mengampunkan dosa perempuan itu di atas perzinaan secara paksa itu.

Sabtu, 21 April 2012

14 Cara Mendidik Anak Secara Islam ala Rasulullah SAW


Cara Mendidik Anak Secara Islami ala Nabi Muhammad SAW |Cara Nabi Muhammad SAW dalam Mendidik Anak.

Seperti apakah Nabi Muhammad SAW dalam mendidik anak-anaknya ?

Praktik pendidikan Nabi Muhammad SAW pada anak-anaknyadapat di gambarkan di bawah ini:

1. Rasulullah senang bermain-main (menghibur) dengan anak-anak dan kadang-kadang beliau memangku mereka. Beliau menyuruh Abdullah, Ubaidillah, dan lain-lain dari putra-putra pamannya Al-Abbas r.a. untuk berbaris lalu berkata, “ Siapa yang terlebih dahulu sampai kepadaku akan aku beri sesuatu (hadiah).”merekapun berlomba-lomba menuju beliau, kemudian duduk di pangkuannya lalu Rasulullah menciumi mereka dan memeluknya.

2. Ketika ja’far bin Abu Tholib r.a, terbunuh dalam peperangan mut’ah, Nabi Muhammad SAW, sangat sedih. Beliau segera datang ke rumah ja’far dan menjumpai isterinya Asma bin Umais, yang sedang membuat roti, memandikan anak-anaknya dan memakaikan bajunya. Beliau berkata, “Suruh kemarilah anak-anak ja’far. Ketika mereka dating, beliau menciuminya. Sambil meneteskan air mata. Asma bertanya kepada beliau karena telah mengetahui ada musibah yang menimpanya.

3. “Wahai rasulullah, apa gerangan yang menyebabkan anda menangis? Apakah sudah ada beritayang sampai kepada anda mengenai suamiku Ja’far dan kawan-kawanya?” Beliau menjawab, “Ya benar, mereka hari di timpa musibah.” Air mata beliau mengalir dengan deras. Asma pun menjerit sehingga orang-orng perempuan berkumpul mengerumuninya. Kemudian Nabi Muhammad SAW. kembali kepada keluarganya dan beliau bersabda, “janganlah kalian melupakan keluarga ja’far, buatlah makanan untuk mereka, kerena sesungguhnya mereka sedang sibuk menghadapi musibah kematian ja’far.”

4. Ketika Rasulullah melihat anak Zaid menghampirinya, beliau memegang kedua bahunya kemudian menagis. Sebagian sahabat merasa heran karena beliau menangisi orang yang mati syahid di peperangan Mut’ah. Lalu Nabi Muhammad SAW. pun menjelaskan kepada mereka bahwa sesungguhnya ini adalah air mata seorang kawan yang kehilangan kawannya.

5. Al-Aqraa bin harits melihat Nabi Muhammad SAW. mencium Al-Hasan r.a. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku mempunyai sepuluh orang anak, tetapi aku belum pernah mencium mereka.” Rasulullah bersabda, “Aku tidak akan mengangkat engkau sebagai seorang pemimpin apabila Allah telah mencabut rasa kasih sayang dari hatimu. Barang siapa yang tidak memiliki rasa kasih sayang, niscaya dia tidak akan di sayangi.”

6. Seorang anak kecil dibawa kepada Nabi Muhammad SAW. supaya di doakan dimohonkan berkah dan di beri nama. Anak-anak tersebut di pangku oleh beliau. Tiba-tiba anak itu kencing, lalu orang-orang yang melihatnya berteriak. Beliau berkata, “jangan di putuskan anak yang sedang kencing, buarkanlah dia sampai selesai dahulu kencingnya.”
Beliau pun berdoa dan memberi nama, kemudian membisiki orang tuanya supaya jangan mempunyai perasaan bahwa beliau tidak senang terkena air kencing anaknya. Ketika mereka telah pergi, beliau mencuci sendiri pakaian yang terkena kencing tadi.

7. Ummu Kholid binti kho;id bin sa’ad Al-Amawiyah berkata, “Aku beserta ayahku menghadap Rasululloh dan aku memakai baju kurung (gamis) berwarna kuning. Ketika aku bermain-main dengan cincin Nabi Muhammad SAW. ayahku membentakku, maka beliau berkata, “Biarkanlah dia.” Kemudian beliau pun berkata kepadaku, “bermainlah sepuas hatimu, Nak!

8. Dari Anas, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW. selalu bergaul dengan kami. Beliau berkata kepada saudara lelakiku yang kecil, “Wahai Abu Umair, mengerjakan apa si nugair (nama burung kecil).”

9. Nabi Muhammad SAW. melakukan shalat, sedangkan Umamah binti zainab di letakkan di leher beliau. Di kala beliau sujud, Umamah tersebut di letakkanya dan bila berdiri di letakkan lagi dil leher beliau. Umamah adalah anak kecil dari Abu Ash bin Rabigh bin Abdusysyam .

10. Riwayat yang lebih masyhur menyebutkan, Rasulullah perna lama sekali sujud. dalam shalatnya, maka salah seorang sahabat bertanya,” Wahai Rasulullah, sesungguhnya anda lama sekali sujud, hingga kami mengira ada sesuatu kejadian atau anda sedang menerima wahyu. Nabi Muhammad SAW, menjawab, “Tidak ada apa-apa, tetaplah aku di tunggangi oleh cucuku, maka aku tidak mau tergesa-gesahsampai dia puas.” Adapun anak yang di maksud ialah Al-Hasan atau Al-Husain Radhiyallahu Anhuma

11. Ketika Nabi Muhammad SAW. melewati rumah putrinya, yaitu sayyidah fatimah r.a., beliau mendengar Al-Husain sedang menangis, maka beliau berkata kepada Fatimah, “Apakah engkau belum mengerti bahwa menangisnya anak itu menggangguku.” Lalu beliau memangku Al-Husain di atas lehernya dan berkata, Ya Allah, sesungguhnya aku cinta kepadanya, maka cintailah dia.
Ketika Rasulullah SAW. sedang berada di atas mimbar, Al-Hasan tergelincir. Lalu beliau turun dari mimbar dan membawa anak tersebut.

12. Nabi Muhammad SAW. sering bermain-main dngan Zainab binti Ummu Salamah r.a. beliau memanggilnya, “Hai Zuwainib, hai Zuwainib berulang-rulang.”

13. Nabi Muhammad SAW. sering berkunjung ke rumah para sahabat Anshar dan memberi salam pada anak-anaknya serta mengusap kepala mereka.

14. Diriwayatkan, pada suatu hari raya Rasulullah SAW. keluar rumah untuk menunaikan shalat ID. Di tengah jalan, beliau melihat banyak anak kecil sedang berman dengan gembira sambil tertawa-tawa. Mereka mengenakan baju baru, sandal mereka pun tampak mengkilap. Tiba-tiba pandangan beliau tertuju pada salah seorang yang sedang duduk menyendiri dan sedang menangis tersedu-sedu. Bajunya compang-camping dan kakinya tiada bersandal. Rasulullah SAW, pun mendekatinya , lalu di usap-usap anak itu mendekapya ke dadabeliau seraya bertanya, “mengapa kau menangis, Nak .” Anak itu hanya menjawab, “biarkanlah aku sendiri.” Anak itu belum tahu bahwa orang yang ada di hadapannya itu adalah Rasulullah SAW. yang terkenal sebagai pengasih. “Ayahku mati dalam suatu pertempuran bersama Nabi,” lanjut anak itu. “Lalu ibuku kawin lagi. Hartaku habis di makan suami ibuku, lalu aku di usir dari rumahnya. Sekarang, aku tak mempunyai baju baru dan makanan yang enak. Aku sedih meihat kawan-kawanku bermain dengan riangnya itu.l”

Baginda Rasulullah SAW. lantas membimbing anak tersebut seraya menghiburnya, “Sukakah kamu bila aku menjadi bapakmu, Fatimah menjadi kakakmu, Aisyah menjadi ibumu, Ali sebagai pamanmu, Hasan dan Husain menjadi saudaramu?” Anak itu segera tahu dengan siapa ia berbicara. Maka langsung ia berkata, “mengapa aku tak suka, ya Rasulullah?” kemudian, Rasulullah SAW, pun membawa anak itu ke rumah beliau, dan di berinya pakaian yang paling indah, memandikannya, dan memberinya perhiasan agar ia tampak lebih gagah, lalu mengajak makan.
Sesudah itu, anak itu pun keluar bermain dengan kawan-kawannya yang lain, sambil tertawa-tawa sambil kegirangan. Melihat perubahan pada anak itu, kawan-kawannya merasa heran lalu bertanya, “Tadi kamu menagis, mengapa sekarang bergembira?” jawab anak itu, tadi aku kelaparan, sekarang sudah kenyang. Tadi aku tak mempunyai pakaian, sekarang aku mempunyainya, tadi aku tak punya bapak, sekarang bapakku Rasulullah dan ibuku Aisyah.” Anak-anak lain bergumam, Wah, andaikan bapak kita mati dalam perang.” Hari-hari berikutnya, anak itu tetap di pelihara, oleh Rasulullah SAW. hingga beliau wafat.

Itulah 14 Cara Mendidik Anak Secara Islami ala Rasulullah SAW,
Semoga Menghibur dan Bermanfaat, 
sumber : www.armhando.com .

Rabu, 18 April 2012

Hukum Perkawinan Dengan Ahlul Bid’ah

Syaikh Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili
Pernikahan dengan Ahlul Bid’ah terlarang secara global menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena akan memberi dampak negatif yang besar, dan bertentangan dengan hal-hal yang disepakati dalam syariat, yaitu: tidak ber-wala’ (loyalitas), tidak mencintai mereka (Ahlul Bid’ah), wajib mengisolir mereka, dan menjauhi mereka (Penguraian masalah ini akan dijelaskan dengan membawakan riwayat-riwayat yang menunjukan hal itu, yaitu ucapan-ucapan para Salaf dan contoh-contoh sebagian kerusakan yang ditimbulkan karena pernikahan dengan Ahlul Bid’ah.)
Hukumnya haram mengadakan pernikahan dengan mereka dan menikahi wanita- wanita mereka. Tentang hukum kepastian rusak dan sahnya akad-akad pernikahan mereka dengan Ahlus Sunnah tergantung dengan jauh dekatnya mereka terhadap agama. Oleh karena itu hukum terhadap mubtadi’ (Ahlul Bid’ah, yaitu orang yang mengada-adakan atau menambahi dalam perkara agama yang tidak ada contoh dari Rasulullah, ed.) yang telah sampai ke derajat kufur disebabkan karena kebid’ahannya tidaklah sama terhadap orang yang kebid’ahannya belum sampai ke derajat kufur, sebagaimana juga berbedanya hukum pernikahan mereka dengan wanita-wanita Ahlus Sunnah dan pernikahan Ahlus Sunnah dengan para wanita mereka di sebagian keadaan.
Berikut ini perincian hukum tentang masalah di atas menurut keadaan yang disebutkan tadi:
Adapun hukum pernikahan Ahlul Bid’ah yang telah dihukumi dengan kekafiran adalah haram secara mutlak. Ini disebabkan kekufuran dan kemurtadan mereka dari agama. Oleh karena itu Ahlus Sunnah tidak halal menikahi wanita-wanita mereka. Demikian juga sebaliknya, mereka haram menikahi para wanita Ahlus Sunnah. Hal ini dijelaskan dalam banyak dalil, dan Ahlus Sunnah telah ijma’ (sepakat) tentang keharaman menikah dengan orang-orang kafir dan kaum musyrikin selain Ahlul Kitab dengan dua keadaan tadi (yaitu: menikah dengan mereka dan dinikahi mereka).
Adapun keharaman seorang laki-laki muslim menikahi wanita kafir lagi musyrik adalah berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al-Baqarah: 221)
Juga firman Allah Ta’ala:
وَلا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan- perempuan kafir.” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Dua ayat di atas menunjukkan keharaman menikahi wanita-wanita musyrikah secara umum bagi kaum muslimin. Dan, yang dikecualikan Allah hanya wanita-wanita Ahlul Kitab dengan firman-Nya:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu.” (QS. Al-Maidah: 5)
Sehingga, hal-hal yang Allah Ta’ala beri keringanan padanya, seperti (laki-laki dari Ahlus Sunnah) menikahi para wanita Ahlul Kitab, adalah boleh. Adapun selain mereka seperti wanita-wanita musyrik, maka hukum keharamannya tetap berlaku secara umum, seperti wanita-wanita penyembah patung dan berhala, atau bintang- bintang dan api. Sehingga, wanita-wanita Ahlul Bid’ah yang telah dihukumi dengan kekafiran, hukum (pernikahan)-nya sama dengan wanita-wanita tadi, walau mereka (wanita-wanita Ahlul Bid’ah itu) mengaku sebagai muslimah.
Ibnu Katsir rahimahullah berkomentar dalam tafsir-nya ayat pertama tadi (Surah Al Baqarah: 221), “Ini adalah pengharaman dari Allah Ta’ala yang dibebankan kepada kaum mukminin, agar mereka tidak menikahi para wanita musyrikah dari (golongan) penyembah berhala. Walaupun secara umum tampaknya wanita-wanita musyrikah dari Ahlul Kitab tergolong kepadanya, tetapi ada pengecualian berupa kebolehan menikah dengan wanita-wanita Ahlul Kitab dengan firman-Nya: “(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya.” (Al-Maidah: 5)(Tafsir Ibnu Katsir 1/257).
Banyak ulama yang menukil ijma’ para ulama yang mengharamkan menikahi wanita-wanita musyrikah selain wanita-wanita Ahlul Kitab.
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata, “Dan semua orang-kafir selain Ahlul Kitab, seperti orang yang menyembah apa yang dia anggap baik dari berhala-berhala, batu-batu, pohon-pohon, dan hewan-hewan, maka tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama tentang keharaman menikahi wanita-wanita mereka dan memakan sembelihan-sembelihan mereka.” (Al-Mughni 9/548)
Syikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata dalam kandungan pembicaraannya tentang Qadariyah (kelompok yang menolak takdir, ed.) dan hukum-hukum tentang mereka, “Dan adapun kaum musyrikin, maka umat ini telah sepakat terhadap keharaman menikahi wanita-wanita mereka dan memakan makanan mereka.” (Majmu’ Fatawa 8/100)
Dengan ini, tegaslah keharaman menikahi wanita-wanita musyrikah selain Ahlul Kitab, menurut keterangan dua ayat tadi dan ijma’ para ulama terhadap hukum itu.
Sudah pasti termasuk ke dalam keharaman itu, keharaman menikahi para wanita Ahlul Bid’ah yang musyrikah seperti wanita-wanita Jahmiyah, Qadariyah, dan Syi’ah Rafidlah. Sebab, firqah-firqah (kelompok) ini telah dihukumi sebagai firqah yang kufur dan murtad. Yang lebih keras dari keharaman itu adalah keharaman menikahi wanita-wanita dari firqah Bathiniyah seperti Daruliz, Nushairiyah, dan lain-lain yang tergolong kelompok zindiq, seperti Hululiyah dan Tanasukhiyah, karena para pengikut kolompok-kelompok ini adalah orang-orang musyrik lagi telah keluar dari Islam (sudah murtad). Tidak halal menikahi wanita-wanita mereka sama sekali, menurut keterangan yang telah saya sampaikan, (ini ucapan Dr. Ibrahim Ruhaili, ed.) berupa ucapan-ucapan para ulama yang khusus berbicara tentang mereka, dengan menambahkan masuknya keharaman menikahi para wanita mereka. Hal itu, di bawah keumuman dalil yang berisikan kepastian haramnya menikahi wanita- wanita musyrikah, kecuali wanita-wanita Ahlul Kitab, yang telah disebutkan di atas.
Inilah sebagian ucapan-ucapan para ulama tentang hal itu:
Ibnu Baththah Rahimahullah meriwayatkan dari Thalhah bin Musharaf rahimahullah [1], bahwa dia berkata, “Tidak boleh menikahi para wanita dari Syi’ah Rafidlah, tidak boleh memakan sembelihan mereka, karena mereka adalah orang-orang murtad.” (Al-Ibanah Ash-Shughra, Ibnu Baththah hal. 161)
Dari Sahl bin Abdillah, dia pernah ditanya tentang hukum shalat di belakang Mu’tazilah dan menikah dengan mereka, maka dia berkata, “Tidak. Tidak ada kemuliaan bagi mereka, mereka adalah orang-orang kafir.” (Tafsir Al-Qurthubi, 7/141)
Al-Baghawi menukil di akhir kitabnya, Al-Farqu Bainal Firaq, beberapa ucapan para Imam Islam, dari para tokoh empat madzhab terhadap sebagian hukum-hukum firqah-firqah tadi.
Maka beliau menyebutkan, “Kelompok ekstrim dari kalangan Syi’ah Rafidlah As- Siba’iyah, Bayaniyah, Muniriyah, Mansyuriyah, Janahiyah, Khithabiyah, Hululiyah, Bathiniyah, dan Yazidiyah dari kalangan Khawarij dan Maimunah.” Kemudian berkata, “Hukum terhadap kelompok-kelompok yang kita sebutkan tadi, terhadap mereka diperlakukan hukum orang-orang yang murtad dari agama. Tidak halal memakan sembelihan-sembelihan mereka, dan tidak halal menikahi para wanita mereka.” (Al-Farqu Bainal Firaq hal. 357)
Abul Hamid Al-Ghazali berkata ketika membicarakan hukum-hukum terhadap kelompok Bathiniyah setelah menukil madzhab mereka dengan rinci dalam kitab Fadla’ilul Bathiniyah, “Adapun menikahi para wanita mereka haram hukumnya, sebagaimana tidak bolehnya menikahi wanita yang murtad. Tidak halal menikahi wanita Bathiniyah -secara keyakinan- disebabkan kekafiran mereka yang telah kita sebutkan sebabnya, seperti pendapat-pendapat (mereka yang, ed.) menjijikkan yang telah kita rinci. Kalau wanita itu seorang yang baik agamanya kemudian menelan madzhab mereka, maka gugurlah nikah di waktu itu juga.” (Fadla’ilul bathiniyah hal. 157)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di awal pembicaraannya tentang kelompok Syi’ah Rafidlah ekstrim dan kelompok ekstrim lainnya (yang ekstrim, ed.) terhadap Ali radliallahu ‘anhu, seperti Nushairiyah dan Ismailiyah, “Semua mereka ini adalah orang-orang kafir yang lebih kufur dari Yahudi dan Nashara. Jika tidak tampak hal itu dari salah seorang mereka, maka dia termasuk orang-orang munafik yang mereka berada dikerak neraka. Siapa yang menampakkan hal itu, maka dia lebih keras kekafirannya dari orang kafir, maka dia tidak boleh tinggal di antara kaum muslimin, tidak dengan jizyah (pajak atau denda) dan tidak dengan dzimmah (orang kafir yang dilindungi di negeri muslim, ed.), dan tidak halal menikahi para wanita mereka, tidak boleh memakan sembelihan-sembelihan mereka, karena mereka adalah orang-orang murtad, bahkan termasuk orang-orang murtad yang sangat jahat.” (Maj’mu Fatawa 28/474-475)
Beliau Rahimahullah juga berkata tentang kelompok Nushairiyah, “Para ulama Islam telah sepakat bahwa tidak boleh menikahi mereka, dan tidak boleh seorang lelaki menikahkan para maula-nya (baca: budaknya, ed.) (yang wanita) dengan mereka, dan jangan seorang wanita menikah dengan mereka, dan tidak boleh memakan sembelihan-sembelihan mereka.” (Majmu’ Fatawa 35/154)
Adapun keharaman menikahnya seorang wanita muslimah dengan pria musyrik yang sama saja apakah dia seorang mubtadi’ atau selainnya, maka hujjah dalam hal itu jelas dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) dan ijma’ umat Islam.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu..” (Al-Baqarah: 221)
Juga firman Allah Ta’ala:
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
Dua ayat ini menjelaskan keharaman menikahkan wanita muslimah dengan pria kafir dan musyrik secara mutlak, sama saja apakah dia (sang pria) seorang Ahlul Kitab, atau penyembah berhala yang tidak memiliki kitab.
Di atas itu terjadilah ijma’ umat ini, sebagaimana yang dinukil Al-Qurthubi dalam ucapannya, “Dan umat ini telah ijma’ bahwa seorang pria musyrik tidak boleh menikahi seorang wanita mukminah sama sekali, karena itu akan menimbulkan kerendahan Islam.” (Tafsir Al-Qurthubi 3/72)
Ijma’ tersebut juga dinukil oleh Syaikh Muhammad ‘Ulaisy [2] dari kalangan para ulama Malikiyah dalam Taqrirat-nya terhadap Hasyiyah Ad-Dasuqi (Lihat Taqriqat, Al-’Allamah Muhammad ‘Ulaisy terhadap Hasyiyah Ad-Dasuki yang dicetak dengan catatan kaki Ad-Dasuki 2/249.) dan Doktor Az-Zahaili dalam Al-Fiqhul Islami. (Lihat Al-Fiqhul Islami ‘ala Adillatuhu 7/152)
Secara umum, larangan menikahnya wanita muslimah dengan pria kafir termasuk masalah yang masyhur dan jelas di kalangan para ulama. Hingga, sebagian mereka mewajibkan dijatuhkannya hukuman kepada si pria kafir dan si wanita muslimah bila terjadi akad antara keduanya dengan menikahkan setelah itu dibatalkan. Mereka juga menghukumi setiap orang yang ikut andil dalam akad itu. Hal ini ditegaskan oleh Ibnul Hamman Al-Hanafi [3] dalam Syarh Fathul Qadir yang mana beliau berkata, “Tidak sah menikahnya pria kafir dengan wanita muslimah. Kalau sampai terjadi, keduanya dihukum, jika si wanita mengetahui status pria. Dan juga orang yang ikut andil, pria atau wanita.” (Syarh Fathul Qadir 2/506)
Yang dimaksudkan di sini adalah keharaman menikahnya pria mubtadi’ kafir akibat bid’ahnya, dengan wanita muslimah dari Ahlus Sunnah, menurut nash-nash Al-Kitab dan ijma’ umat ini berupa keharaman dinikahinya wanita muslimah oleh pria kafir dan masuknya mubtadi’ kafir ke dalam sifat kufur yang ada hukum-hukum tentangnya.
Hal ini masih ditambah dengan riwayat-riwayat yang mutawatir dari para salafush shalih berupa atsar-atsar yang terang tentang keharaman menikahkan wanita Ahlus Sunnah kepada orang yang telah divonis kafir dari Ahlul Bid’ah, dan rusaknya serta batalnya pernikahan tersebut.
Di antara atsar-atsar tersebut:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dan selainnya dari Imam Malik Rahimahullah, bahwa beliau pernah ditanya tentang pernikahan pria Qadari, maka beliau membaca ayat:
وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu..” (Al-Baqarah: 221) (As-Sunnah, Ibnu Abi Ashim hal. 88, dan Al-Ibanah Ash-Shughra, Ibnu Baththah hal. 151, dan Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah, Al-Lalikai 2/731).
Dari beliau juga, bahwa beliau pernah ditanya tentang Qadariyah, manakah yang lebih baik, tidak berbicara dengan mereka atau memusuhi mereka? Beliau Rahimahullah berkata, “Ya, jika dia memang paham terhadap apa yang dia yakini” Dan beliau berkata, “Dan saya berpendapat mereka tidak boleh menikahi (para wanita Ahlus Sunnah).” (Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah Ash-Shughra hal. 150)
Dari Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah, dia pernah ditanya oleh seseorang, “Saya memiliki famili yang Qadari, apakah saya boleh menikahinya?” Beliau berkata, “Tidak. Tidak ada kehormatan baginya.” (Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah 2/735)
Dari Abdurrahman bin Malik Rahimahullah, ia berkata, “Tidak ada Ahlul Bid’ah yang lebih jahat dari teman-teman Jahm, mereka berkeliling-keliling sambil mengatakan, “Di langit tidak ada apapun.” Saya berpendapat, “Demi Allah, mereka tidak boleh menikahi dan mendapatkan waris.” (Diriwayatkan Abdullah bin Ahmad dalam Kitabus Sunnah 1/157)
Dari Muhammad bin Yahya [4], ia berkata, “Siapa yang mengatakan Al-Qur’an makhluk, dia kafir. Siapa abstain, dia lebih jahat dari yang mengatakan makhluk. Tidak boleh shalat di belakang mereka dan mereka tidak boleh menikahi (para wanita Ahlus Sunnah)” (Al-Lalikai dalam Syarhus Sunnah 2/325)
Riwayat-riwayat yang dinukil dari para Imam Salaf menunjukkan keharaman menikahkan Ahlul Bid’ah yang kebid’ahan-kebid’ahannya sampai ke batas kekafiran, seperti Jahmiyah dan Qadariyah serta Ahlul Bid’ah yang sama hukumnya dengan mereka yang telah pasti dihukumi dengan kekafiran menurut Ahlus Sunnah. Menikahnya mereka dengan wanita-wanita Ahlus Sunnah adalah tidak boleh dengan sebab kekafiran mereka. Jika itu terjadi, wajib membatalkannya dengan langsung, sebagaimana ditunjukkan oleh fatwa-fatwa para ulama Ahlus Sunnah yang menegaskan madzhab Salaf dalam hal itu.
Diriwayatkan dari Syaikh Abul Qasim As-Sialari rahimahullah [5], beliau ditanya tentang suatu kaum dari Ibadhiyah yang berpegang dengan madzhab Wahbiyah dari Rafidlah dan tinggal di antara kaum muslimin, serta mereka menikahi para wanita Ahlus Sunnah agar bertambah kekuatan mereka dengan hubungan periparan dengan Ahlus Sunnah, maka apakah boleh Ahlus Sunnah membatalkan pernikahan- pernikahan mereka itu dan memukul mereka hingga mereka bisa kembali meninggalkan madzhab mereka?
Maka beliau berkata, Pernikahan yang mereka lakukan dengan para wanita kita (wanita Ahlus Sunnah), maka segera dibatalkan, penjara dan pukul mereka jika mereka belum bertaubat, yaitu kepada urusan yang benar, dan kembalikan kepada madzhab Ahlus Sunnah. Dan siapa yang mampu untuk melakukan apa yang telah kita sebutkan, maka dia wajib melakukannya.” (Tabshuratul Hukkam, Ibnu Farihan yang dicetak dengan footnote Fathul ‘Aliyil Malik 1/425).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata dalam jawaban terhadap pertanyaan tentang hukum menikahkan seorang pria Syi’ah Rafidlah (dengan wanita Ahlus Sunnah) dan orang yang mengatakan tidak wajib melakukan shalat yang lima, “Tidak boleh seorang pun menikahkan budaknya/maulanya yang wanita dengan pria Syi’ah Rafidlah dan orang yang meninggalkan shalat. Jika ketika mereka menikahkannya dia seorang Sunni dan shalat, kemudian muncul/tampak bahwa dia sebenarnya seorang Rafidli yang tidak shalat, atau dia kembali kepada madzhab Rafidlah dan meninggalkan shalat, maka mereka harus membatalkan nikahnya.” (Majmu’ Fatawa 32/61).
Setelah pemaparan yang rinci tentang nash-nash yang syar’i dan ucapan-ucapan para Salaf, menjadi jelaslah hukum syari’at dan sikap Ahlus Sunnah tentang pernikahan Ahlul Bid’ah yang telah dihukumi dengan kekafiran, bahwa pernikahan mereka dengan Ahlus Sunnah tidak halal sama sekali, sama saja apakah mereka pria atau wanita. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang pria Ahlus Sunnah untuk menikahkan wanita yang dalam tanggung jawabnya dengan pria Ahlul Bid’ah yang kafir, sebagaimana juga tidak boleh baginya untuk menikahi wanita dari mereka. Hal itu merupakan ijma’ Ahlus Sunnah. Wallahu A’lam.

Adapun jika si mubtadi’ tidak kafir (Ahlul bid’ah yang bid’ahnya tidak menyebabkan kekufuran), maka yang menjadi masalah dalam pernikahannya dengan wanita Ahlus Sunnah yaitu berkaitan dengan masalah ‘sekufu’ dalam pernikahan. Hal itu teranggap berkaitan dalam sahnya pernikahan atau tidak? Tempat pembahasan hal ini dengan luas ada dalam kitab-kitab fiqih. Saya di sini hanya menyebutkan ucapan-ucapan para ulama tentang masalah ini menurut bentuk yang global, agar semakin terang dalam hukum pernikahan mubtadi’ tadi.
Global pendapat dalam masalah ini adalah bahwa para ulama berselisih tentang persyaratan “kufu’” dalam pernikahan. Sebagian mereka berpendapat bahwa persyaratan kufu’ bukan syarat kesahan pernikahan dan juga bukan keharusan pernikahan. Itu diriwayatkan oleh Al-Hasan Bashri dan Sufyan Ats-Tsauri, dan demikian juga pendapat Al-Khurkhi dari kalangan Hanafiyah.
Dan jumhur para ulama, di antaranya tokoh empat madzhab, berpendapat bahwa kufu’ adalah syarat keharusan pernikahan dan syarat kesahan pernikahan. Bila seorang wanita menikah tanpa sekufu’, maka akad tersebut benar. Para walinya memiliki hak untuk menolak sang pria dan menuntut fasakh-nya untuk menolak bahaya-bahaya yang memalukan dari diri-diri mereka. Jika mereka menggugurkan hak mereka dalam menolak, maka itu boleh. Demikian juga kalau sang wali menikahkan maula wanitanya tanpa sekufu’, maka wanita tersebut memiliki hak untuk menolak dan membatalkan akad, kecuali kalau dia (si wanita) tidak mau menggunakan haknya, maka boleh.
Masalah sekufu’ dalam pernikahan adalah hak bagi sang wanita dan walinya. Hak ini tetap berlaku bagi keduanya menurut persetujuan, yakni kalau salah satunya menggugurkan haknya, tidak bisa yang lain ikut gugur kecuali bila dia juga menggugurkan. Kalau keduanya sepakat untuk menggugurkan hak ini, akad bisa dilaksanakan. Ini berbeda bila kufu’ adalah syarat dalam kesahan akad, maka akad pernikahan tanpa sekufu’ tidak sah, hingga kalau para wali dan sang wanita menggugurkan hak mereka untuk menolak. Sebab, syarat sah tidak bisa gugur dengan digugurkan oleh pemiliknya. Inilah perbedaan antara syarat yang mesti dan syarat sah. [6]
Kemudian setelah mereka sepakat untuk menganggap kufu’ adalah syarat keharusan nikah jumhur berselisih dalam keberbilangan bagian yang dianggap dalam kekufu’an. Kita bukan merinci perbedaan mereka dalam hal itu karena tidak ada keterkaitannya dengan tema kita. Yang kita maukan di sini adalah menganggap “keagamaan” termasuk bagian kufu’ dalam pernikahan. Inilah yang menjadi tempat ijma’ mayoritas fuqaha yang telah disampaikan tadi, kecuali Muhammad bin Al- Hasan dari Hanafiyah [7], karena beliau tidak menganggap kekufu’an dalam masalah agama. Beliau berkata, “Karena ini masalah akhirat sedangkan kufu’ termasuk hukum-hukum dunia.” (Bada’iush Shana’i, Al-Kasani 2/320, Syarh Fathul Qadir, Ibnu Hamman 2/423)
Perlu diperingatkan, yang dimaksud dengan “keagamaan” di sini adalah sebagaimana yang ditafsirkan para ulama dengan “takwa dan wara”, yaitu sang pria bukan seorang yang fasik dan mubtadi’ (Syaikh Ma’a ‘Ulaisy terhadap Asy-Syarhul Kabir yang dicetak dengan footnote Ad-Dasuqi 2/249.).
Bukanlah yang dimaksudkan dengan “keagamaan” adalah beragama Islam, karena agama Islam syarat sah nya akad menurut ijma’, dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi, sebagaimana telah lalu keterangannya di awal pasal.
Inilah ucapan-ucapan para fuqaha’ dalam menganggap permasalahan kufu’ dalam keagamaan, sebagaimana dinukil oleh para peneliti empat madzhab:

Dari Madzhab Hanafi:
Penulis kitab Bada’iush Shana’i berkata di bawah judul Hal yang dianggap termasuk kekufu’an: Di antaranya Agama. Menurut pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf, hingga kalau seorang wanita yang termasuk anak-anak para orang shalih bila menikahkan dirinya kepada seorang pria fasik, maka para walinya berhak untuk menolak, sebab membanggakan diri dengan agama lebih pantas daripada berbangga dengan keturunan, status orang merdeka dan harta. Kejelekan akibat kefasikan lebih jelek dari berbagai kejelekan-kejelekan yang ada.” (Bada’iush Shana’i, Al-Kasani 2/320)
Itu juga dinukil dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf Burhanuddin Al-Marghinani [8] pengarang Al-Hidayah, dia berkata, “Dan itu benar yaitu termasuk madzhab keduanya menurut yang diterangkan Ibnu Hamman dalam Syarh Fathul Qadir.” (Syarh Fathul Qadir 2/422)
Sebagaimana masing-masing, tiga para peneliti menyetujui pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf dalam konteks ucapan mereka.
Dari Madzhab Malik:
Berkata Ahmad Ad-Darudir, penulis Asy-Syarhul Kabir, “Kekufu’an adalah agama dan keadaan, dan baginya dan wali boleh meninggalkannya.” (Asy-Syarhul Kabir dengan Hasyiyah Ad-Dasuqi 2/249). Ad-Dasuqi [10] menyetujui itu dalam Hasyiyah-nya terhadap Asy-Syarh (Lihat Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘ala Asy-Syarhul Kabir 2/249). Dan demikian Syaikh Muhammad ‘Ulaisy dalam Taqrirat-nya (Lihat Taqriqat Muhammad ‘Ulaisy ‘ala Asy-Syarhul Kabir 2/249).
Dari Madzhab Syafi’i:
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syirazi [11] pengarang kitab Muhadzdzab berkata, “Kekufu’an adalah pria fasik tidak dianggap sekufu’ dengan wanita yang terhormat.” (Juz 2/50).
Imam An-Nawawi berkata ketika memaparkan jumlah bagian masalah kufu’, “Dan juga ‘iffah (kehormatan), maka seorang yang fasik tidak sekufu’ dengan wanita yang ‘afifah (terhormat).” (Al-Minhaj ma’a Mughnil Muhtaj 3/166)
Muhammad Asy-Syarbini [12] berkata, “Keempat: Al-’Iffah. Yaitu agama, keshalihan, dan mampu menahan diri dari hal-hal yang tidak dihalalkan. Maka, seorang pria yang fasik tidak sekufu’ dengan wanita yang memiliki ‘iffah, karena adanya dalil yang menunjukkan tidak samanya. Beliau berkata, “(Pernikahan) seorang pria mubtadi’ dengan wanita Sunni sama seperti (pernikahan) pria fasik dengan wanita yang memiliki ‘iffah.” (Mughnil Muhtaj 3/166)

Dari Madzhab Hambali:
Ibnu Qudamah berkata dalam Syarh-nya terhadap ucapan Al-Khurqi, 22 “Dan kekufu’an: Yang memiliki kebaikan agama dan kedudukan.
“Riwayat tentang pendapat Imam Ahmad tentang syarat kekufu’an berbeda-beda. Beliau memiliki dua syarat: kebaikan agama dan kedudukan. Itu saja. Dan juga ada yang meriwayatkan dari beliau lima hal, dua di antaranya yang tadi, ditambah dengan status sebagai orang merdeka, pekerjaan, dan harta. Beliau berkata tentang dianggapnya agama sebagai kekufu’an adalah berdalil dengan ayat:
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ
“Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama.” (As-Sajdah: 18)
Seorang fasik itu terhina, tertolak kesaksiannya dan ceritanya, tidak bisa dipercaya mengurus orang dan harta, gugur kewaliannya, rendah di sisi Allah dan di sisi makhluk-Nya, serta miskin di dunia dan akhirat. Maka, dia tidak boleh sekufu’ dengan wanita yang menjaga kehormatannya. Pria itu tidak sama dengannya, tapi sekufu’ dengan wanita sejenisnya.” (Al-Mughni 9/391).
Dengan pemaparan pendapat-pendapat para ulama tentang masalah kekufu’an dalam pernikahan maka tetaplah, bahwa: kekufu’an dalam pernikahan merupakan syarat keharusan pernikahan, sebagaimana disepakati jumhur para ulama dari tokoh empat madzhab. Tidak ada yang menyelisihi dalam hal itu kecuali Al-Hasan Al- Bashri, Sufyan Ats-Tsauri, dan Al-Khurkhi yang tidak mensyaratkan ke-kufu’-an sebagai dasar dalam pernikahan. Dan, Muhammad bin Al-Hasan yang tidak menganggap kebaikan dalam kekufu’an.
Berdasarkan hal tadi, maka hukum pernikahan pria mubtadi’ -yang bid’ahnya tidak membawanya kepada kekafiran- dengan wanita Ahlus Sunnah, boleh jika telah terjadi. Tetapi akadnya tidak mesti diterima, kecuali dengan persetujuan dari setiap wanita dan para walinya untuk melakukannya. Ini disebabkan karena sang mubtadi’ tidak sekufu’ dengan wanita Sunni tersebut, sebagaimana seorang pria fasik tidak sekufu’ dengan wanita yang menjaga kehormatannya. Kekufu’an adalah hak bagi sang wanita dan hak para walinya. Masing-masing dari keduanya memiliki hak tolak untuk menikahkan sang mubtadi’ dan untuk menggugurkan akad karena tidak sekufu’. Keduanya juga memiliki hak untuk menggugurkan haknya dalam hal itu dan melaksanakan pernikahan sehingga pernikahan tersebut sah. Wallahu a’lam.
Adapun menikahnya seorang pria dari Ahlus Sunnah dengan seorang wanita yang bid’ahnya tidak sampai ke batas kekufuran, maka pernikahannya dengan sang wanita itu sah. Alasannya, karena kekufu’an hanya disyaratkan pada pihak sang pria yaitu syarat sekufu’ dengan sang wanita, dan tidak disyaratkan kekufu’an bagi sang wanita untuk sekufu’ dengan sang pria. Inilah yang diyakini jumhur ulama. Mereka berkata: Karena hal tersebut, maka sang pria tidak bisa dicela disebabkan sang istri lebih rendah darinya, dan dia tidak akan mendapat bahaya dengan sebab tersebut. Berbeda dengan wanita, dia akan dicela dengan memiliki suami yang lebih rendah dari dia, dan wanita tersebut akan terganggu dengan hal itu karena sang pria bisa saja men-thalaq (cerai)-nya di setiap waktu. Dia (sang pria) bisa berlaku leluasa terhadap dirinya, berbeda dengan wanita tersebut [13].
Dan Di Sini Perlu Diberi Peringatan Penting, Yaitu Permasalahan Sahnya Pernikahan Seorang Pria Mubtadi Dengan Wanita Sunni.
Secara syariat, kesepakatan sang wanita dan para walinya dan sahnya pernikahan seorang pria Ahlus Sunnah dengan wanita Ahlul Bidah, tidaklah menunjukkan ditekankannya (atau dibolehkannya tanpa ada bahaya, ed.) pernikahan Ahlus Sunnah dengan Ahlul Bidah. Hukum sahnya pernikahan mereka setelah terpenuhinya syarat-syarat kesahannya merupakan suatu masalah, dan keridlaan terhadap pernikahan mereka adalah suatu masalah lain lagi. Bahkan, telah jelas larangan keras menikahnya pria-pria Ahlul Bidah dengan wanita-wanita Sunni menurut Ahlus Sunnah, disebabkan karena sangat besarnya bahaya-bahaya yang dapat terjadi akibat pernikahan para pria Ahlul Bid’ah dengan para wanita Ahlus Sunnah.
Syari’at memberi keterangan bahwa sahnya akad mereka itu bisa memberikan kerugian kepada masing-masing pihak, seperti kepada sang wanita dan para walinya. Inilah yang dimaukan akal sehat, yakni mereka menolak pernikahan itu karena akan timbul bahaya-bahaya akibat mereka menikahkannya dengan sang pria Ahlul Bid’ah. Jika mereka setuju, berarti masing-masing pihak telah menyia-nyiakan hak dirinya dan hak lainnya akibat pernikahan ini.
Seorang pria Ahlus Sunnah bila dia menikahi wanita Ahlul Bid’ah, dia telah dianggap berlaku jelek dalam pilihan tersebut. Dia berarti telah menyia-nyiakan hak dirinya dengan menikahi wanita tersebut, karena pernikahan tersebut memberikan dampak negatif terhadap diri dan keluarganya. Sebagaimana juga, dia telah menyia-nyiakan hak anak-anaknya dengan memilihkan untuk mereka seorang ibu yang tidak shalih. Sang ibu memiliki pengaruh yang besar dalam membimbing anak-anaknya dalam akidah dan akhlak, juga bisa menyimpangkan mereka dari agama yang lurus, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Tidaklah seorang anak dilahirkan melainkan di atas fitrah, kedua orangtuanyalah yang mengubahnya menjadi seorang Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Sebagaimana binatang ternak melahirkan binatang ternak yang sehat (Yakni bersih dari aib-aib yang terkumpul padanya anggota badan yang sempurna (sehat) maka tidak ada kecacatan dari kay (ditusuk dengan besi panas). (An-Nihayah oleh Ibnu Katsir 1/296). Apakah kalian melihat padanya ada kecacatan (Yakni terputus ujungnya atau dari salah satu darinya (anggota badan itu). (An-Nihayah oleh Ibnu Katsir 1/247) [14]. Selain ini juga cercaan yang didapat sang anak karena memiliki ibu yang Ahlul Bid’ah.
Demikian juga sang wanita, bila dia ridla dengan dinikahi sang mubtadi, berarti dia sedang menuntun bahaya menuju keluarganya secara umum akibat adanya hubungan pernikahan dengan sang mubtadi tersebut. Ikatan mushaharah (hubungan karena pernikahan) dan berkumpul dengan sang mubtadi ini dapat memberikan efek negatif kepada rumah tersebut. Sebagaimana hal ini (wali) bisa menyakiti wanita yang dia tanggung khususnya, karena dia menikahkannya dengan sang mubtadi tersebut yang dia tidak bisa memilih dengan baik. Dan wanita tersebut (perlu selalu, ed.) dinasihati untuk bersikap (benar sesuai syariat, ed.) terhadap sang pria karena dikhawatirkan dia (sang wanita) dengan keberaniannya menikah akan membuatnya menyimpang dari akidah yang benar dan mengikuti akidah sang suami karena wanita bisa dikuasai, lemah, dan sedikit kesabarannya. Oleh karena itu, Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Siapa yang menikahkan saudara wanitanya dengan sang pria mubtadi, berarti dia telah memutus hubungan kekeluargaannya dengan sang wanita.” (Al-Barbahari dalam Syarhus Sunnah hal. 60, Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah 2/733, Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal 19, dan As-Suyuthi dalam Al-Amru bi Ittiba’ hal. 81)
Yang lebih parah dari itu dalam pernikahan dengan pria Ahlul Bid’ah -jika dia termasuk yang mendakwahkan bid’ahnya- berarti mereka (sang wanita dan para walinya, ed.) tidak menyikapinya dengan benar, seperti mengisolirnya, membentaknya agar dia bertaubat dari bid’ahnya, dan hal-hal yang bisa memberikan kebaikan kepadanya di dunia dan akhirat. Dan sebelum itu, dalam pernikahan tersebut mereka menyia-nyiakan hak Allah yang harus ditunaikan dengan mereka berwala’ (loyalitas) kepada musuh-musuh-Nya, mencintai mereka, mendekati mereka, tidak membenci serta menjauhi mereka karena Allah.
Ringkasnya, pernikahan dengan Ahlul Bid’ah yang masih dianggap termasuk muslimin, baik pria maupun wanita, adalah makruh (dibenci) menurut Ahlus Sunnah dengan kebencian yang keras, karena akan menimbulkan efek-efek negatif, menyia- nyiakan hak dan kebaikan-kabaikan. Oleh karena itu, para Salaf melarangnya untuk menjaga hal tersebut.
Imam Malik berkata, “Ahlul Bid’ah jangan dinikahkan (dengan wanita Ahlus Sunnah), jangan menyerahkan kepada mereka untuk dinikahi, jangan mengucapkan salam kepada mereka, jangan shalat di belakang mereka, dan jangan iringi jenazah- jenazah mereka.” (Al-Mudawanah 1/84)
Imam Ahmad berkata, “Siapa yang tidak menomor-empatkan Ali bin Abi Thalib dalam khilafah, maka kalian jangan mengajak bicara dan menikahkannya.” (Thabaqatul hanabilah, Ibnu Abi Ya’la 1/45).
Dengan ini saya tutup pasal ini setelah menerangkan sikap Ahlus Sunnah dalam hal pernikahan dengan Ahlul Bid’ah, apakah mereka Ahlul Bid’ah yang kafir atau muslim, sama saja, pria atau wanita, menurut nash-nash yang sesuai dengan syariat dan riwayat-riwayat para Salaf dalam hal tersebut. Alhamdulillah dengan karunia dan taufik-Nya.
(Diambil dari kitab Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlul Ahwa wal Bida’, Edisi Indonesia Hukum Perkawinan Dengan Ahli Bid’ah, Penulis Syaikh Dr Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili, Penerjemah Muhammad Ali Ismah Al-Medany, Penerbit Pustaka Al- Ghuraba’ Press
Fotenote:
[1]. Thalhah bin Musharraf bin ‘Amr bin Ka’b Al-Yami Al-Kufi, dia seorang Tsiqah (dipercaya), Qari lagi terhormat. Wafat tahun 112 H. (Lihat At-Taqrib hal. 283).
[2]. Syaikh Muhammad ‘Ulaisy adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, ‘Ulaisy Ath-Tharablisi Ad-Daarul Mishri, beliau seorang syaikh dari madzhab Maliki di sana. Beliau banyak melahirkan ulama-ulama Al-Azhar dari beberapa tingkatan. Beliau banyak memiliki karangan dalam beberapa disiplin ilmu, yang mayoritasnya telah dicetak. Wafatnya tahun 1299 H di Mesir. (Lihat Syajaratun Nur Az-Zakiyah, Muhammad Makhluf 1/385)
[3]. Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid bin Abdul Hamid bin Mas’ud As-Siausi yang terkenal dengan Ibnul Hamman Al-Hanafi, seorang Imam lagi sangat cerdas. Dia juga seorang peneliti yang cemerlang. Wafat tahun 361 H. (Lihat Syudzuratudz Dzahab 7/29).
[4]. Muhammad bin Yahya bin Abi Umar Al-’Adani, dia tinggal di Makkah. Dia seorang yang sangat jujur lagi mengarang Musnad. Dia terus belajar kepada Ibnu ‘Uyainah, tetapi Abu Hatim berkata, “Padanya ada kelalaian.” Wafat 243 H.)
[5]. Dia Abul Qasim Abdul Haq bin Abdul Harits, penutup ulama Afrika. Dia seorang yang terhormat, peneliti, zuhud, lagi ahli sastra. Sebagian ulama benyak belajar kepadanya. Dia berumur panjang. Wafat tahun 460 H. (Lihat Ad-Dibaj Al-Madzhab, Ibnu Farihan 2/22.)
[6]. Lihat Syarh Fathul Qadir, Ibnul Hamman 2/417, Syarh Al-Kabir, Ahmad Ad- Darrudir dengan Hasyiyah Ad-Dasiki 2/249, Mughnil Muhtaj, Muhammad Asy- Syarbini 3/249, Raudlatuth Thalibin, An-Nawawi 7/84, Kasyful Qana’, Al-Bahuti 5/72 dan Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Az-Zuhaili 7/234.
[7]. Lihat Syarh Fathul Qadir, Ibnul hamman 2/422, Taqrirat.
[8]. Beliau adalah Ali bin Abu Bakar bin Abdul Jalil Al-Farghani Al-Marghinani, pengarang Al-Hidayah. Dia seorang Imam, faqih, hafidz, muhaddits (ahli hadits), ahli tafsir lagi pengumpul ilmu. Wafat tahun 593 H. (Lihat Al-Fawa’id Al-Bahiyyah dalam Tarajimul Hanafiyah, Al-Kinani hal. 141)
[9]. Beliau adalah Abul Barakat Ahmad bin Asy-Syaikh Ash-Shalih Muhammad Al- ‘Adawi, Al-Anshari, Al-Khalwati yang terkenal dengan Ad-Darudir, Syaikh penduduk Mesir di masanya. Beliau seorang yang beramar ma’ruf dan nahi munkar. Wafat 1201 H. (Lihat Syajaratun Nur Az-Zakiyah 1/359.)
[10]. Beliau adalah Muhammad bin Ahmad bin ‘Arafah Ad-Dasuqi Al-Maliki, dari daerah Dasuq, Mesir. Beliau termasuk pengajar di Al-Azhar. Beliau belajar dan tinggal serta wafat di Kairo. Wafat tahun 1230 H. (Lihat Al-A’lam Az-Zarkali 6/17.)
[11]. Beliau adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Asy-Syirazi, Al-Fairuz Abadi, orang yang diberi julukan Jamaluddin, tinggal di Baghdad dan ber-tafaqquh (mendalami) sekelompok orang tertentu. Menulis beberapa tulisan yang berguna dari kitab Muhadzdzab, Tanbih, Luma’ dan lain-lain. (Lihat Fawayantul A’yan 1/29).
[12]. Beliau adalah Muhammad bin Muhammad Asy-Syarbini, Al-Qahiri, Asy-Syafii, Al- Khatib Al-Imam Al-’Allamah. Ijma’ orang-orang Mesir atas keshalihannya dan ahli- ahli ilmu mensifati beliau orang yang berilmu dan beramal, zuhud dan wara’. Dia men-syarah kitab Al-Minhaj dan Tanbih dengan dua syarh yang besar. Wafat tahun 977 H. (Lihat Syadzaratul Dzahab 8/384)
[13]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 9/397, Hasyiyah, Ibnu ‘Abidin 3/85, Al-Fiqhul Islami, Al-Fiqh ‘Alal Mazahibil Arba’ah, Abdurrahman Al-Jazairi 4/57, dan Az-Zuwaj wa Ath-Thalaq fil Islam, Badran Abul ‘Ainain hal. 162.
[14]. HR. Bukhari Kitabul Janaiz Bab Idza Aslama Shabiyyu Hal Yushalla Alaih, Fathul Bari 3219 no. 1358. Muslim Kitabul Qadr Bab Makna Kullu Mauludin Yuladu Alal Fitrah 4/2047 no. 2658.
Sumber: sunniy.wordpress.com