Al-'Ashr

<a href="http://www.clock4blog.eu">clock for blog</a>
Free clock for your blog

Rabu, 24 Oktober 2012

Amar Ma'ruf Nahyi Munkar


Dari Abi Sa’id Al-Khudri –semoga Allah meridainya– ia mengatakan, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka ia harus mengubah dengan tangannya. Jika ia tidak bisa maka ia harus mengubah dengan lidahnya. Jika ia tidak bisa maka ia harus mengubah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya.)

Di antara kewajiban seorang mukmin adalah melakukan amrun bil-ma’ruf wa nahyun ‘anil-munkar (memerintahkan untuk melakukan kebajikan dan melarang melakukan kemungkaran). Rasulullah saw. menggambarkan pentingnya pekerjaan ini dalam hadits berikut ini.

“Perumpaan orang-orang yang melaksanakan hukum-hukum Allah dengan orang-orang yang melanggarnya bagaikan sekelompok orang yang naik kapal. Lalu mereka melakukan undian untuk menentukan siapa yang duduk di bagian atas dan siapa yang duduk di bagian bawah (dek). Orang-orang yang duduk di bagian bawah itu harus naik ke atas jika mereka membutuhkan air. Lalu salah seorang dari mereka mengatakan, “Sebaiknya kita membolongi tempat kita ini sehingga kita tidak mengganggu orang lain.” Jika orang-orang yang ada di atas membiarkan mereka melaksanakan apa yang mereka inginkan, maka niscaya akan binasalah semuanya. Namun, jika mereka membimbingnya, maka mereka yang ada di atas akan selamat dan selamat pula mereka yang ada di bawah.” (Bukhari)

Dengan sangat jelas, Allah swt. menyebut pekerjaan tersebut sebagai salah satu sifat yang harus melekat pada orang-orang beriman. Hal itu dijelaskan dalam ayat ini:

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)

Untuk tercapainya tujuan-tujuan nahyi munkar itu, Islam mengiringi perintah tersebut dengan beberapa aturan. Karena, mencegah kemungkaran ditujukan untuk menyelamatkan dan mewujudkan yang maslahat atau yang lebih maslahat. Bukan sebaliknya.

Syarat pelaku amar makruf nahyi munkar


Syaikh Abdul Qadir Audah –rahimahullah– menyebutkan tiga syarat yang disepakati oleh para ulama yang harus ada pada setiap pelaku amar makruf dan nahyi munkar. Ketiga syarat itu adalah: mukallaf, memahami, dan bebas dari tekanan; mengimani agama Islam; dan memiliki kemampuan untuk melakukan amar makruf dan nahyi munkar itu. Jika tidak, maka kewajibannya adalah menolak dengan hati.

Ada pun syarat yang tidak semua ulama menyepakatinya adalah: pertama, sifat ‘adalah, yakni sifat shalih, takwa, dan terpercaya. Tentang ini, Sa’id bin Jubair mengatakan, “Jika amar ma’ruf dan nahyi munkar hanya dilakukan oleh orang yang sempurna segala sesuatunya, maka niscaya tidak akan ada seorang pun yang melakukannya.” Kedua, izin imam (pemimpin). Ini juga termasuk yang diperselisihkan. Jumhur ulama tidak mensyaratkan hal ini.

Syarat pelaksanaan nahyi munkar


Ada dua syarat pelaksanaan nahyi munkar. Pertama, ada atau terjadinya kemungkaran. Kemungkaran adalah segala kemaksiatan yang diharamkan atau dilarang oleh Islam. Kedua, kemungkaran yang dimaksud hadits di atas dan wajib diperangi adalah perbuatan yang secara qath’i (tegas, eksplisit) dinyatakan sebagai kemungkaran dalam Al-Qur’an atau Sunnah, atau berdasarkan ijma’ dan bukan yang diperselisihkan. Kemungkaran-kemungkaran yang qath’i itu adalah yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai fahsya atau munkar, seperti zina, mencuri, riba, dan melakukan kezhaliman.

Juga termasuk kemungkaran qath’i yang disebutkan oleh Rasulullah saw. sebagai al-mubiqat (hal-hal yang membinasakan), seperti yang diuraikannya dalam hadits berikut. “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu?” Rasulullah saw. menjelaskan, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan cara haq, makan riba, makan harta yatim, lari dari gelanggang saat jihad, dan menuduh zina kepada wanita suci.” (Muslim, Abu Dawud, dan Baihaqi)

Kemungkaran itu tampak karena dilakukan secara terbuka dan bukan hasil dari tajassus (mencari-cari kesalahan). Sebab Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kamu jika mencari-cari aurat (kesalahan-kesalahan) manusia, maka kamu menghancurkan atau nyaris menghancurkan mereka.” (Shahih Ibnu Hibban)

Tahapan-tahapan pelaksanaannya

Para ulama memberikan arahan agar dalam pelaksanaan menghilangkan kemungkaran diambil langkah-langkah seperti berikut:

Pertama, melakukan penyadaran dan pemahaman. Allah swt. Berfirman, “Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (At-Taubah: 115)

Kedua, menyampaikan nasihat dan pengarahan. Jika penjelasan dan informasi tentang ketentuan-ketentuan Allah yang harus ditaati sudah disampaikan, maka langkah berikutnya adalah menasihati dan memberikan bimbingan. Cara ini dilakukan Rasulullah terhadap seorang pemuda yang ingin melakukan zina dan terhadap orang Arab yang kencing di Masjid.

Ketiga, peringatan keras atau kecaman. Hal ini dilakukan jika ia tidak menghentikan perbuatannya dengan sekadar kata-kata lembut dan nasihat halus. Dan ini boleh dilakukan dengan dua syarat: memberikan kecaman hanya manakala benar-benar dibutuhkan dan jika cara-cara halus tidak ada pengaruhnya. Dan, tidak mengeluarkan kata-kata selain yang yang benar dan ditakar dengan kebutuhan.

Keempat, dengan tangan atau kekuatan. Ini bagi orang yang memiliki walayah (kekuasaan, kekuatan). Dan untuk melakukan hal ini ada dua catatan, yakni: catatan pertama, tidak secara langsung melakukan tindakan dengan tangan (kekuasaan) selama ia dapat menugaskan si pelaku kemungkaran untuk melakukannya. Jadi, janganlah si pencegah kemungkaran itu menumpahkan sendiri khamer, misalnya, selama ia bisa memerintahkan peminumnya untuk melakukannya. Catatan kedua, melakukan tindakan hanya sebatas kebutuhan dan tidak boleh berlebihan. Jadi, kalau bisa dengan menarik tangannya, tidak perlu dengan menarik jenggotnya.

Kelima, menggunakan ancaman pemukulan. Ancaman diberikan sebelum terjadi tindakannya itu sendiri, selama itu mungkin. Dan ancaman tentu saja tidak boleh dengan sesuatu yang tidak dibenarkan untuk dilakukan. Misalnya, “Kami akan telanjangi kamu di jalan,” atau “Kami akan menawan isterimu,” atau “Kami akan penjarakan orangtua kamu.” (Lebih jauh lihat Fahmul-Islam Fi Zhilalil-Ushulil-‘Isyrin, Jum’ah Amin ‘Abdul-‘Aziz, Darud-Da’wah, Mesir).

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah –semoga Allah merahmatinya– menjelaskan akhlak amar ma’ruf dan nahyi munkar sebagai berikut:

    * Amal seseorang tidak dapat dikatakan shalih jika dilakukan tanpa ilmu dan pemahaman. Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan, “Siapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka kerusakannya akan lebih besar dari pada kebaikannya.”

    * Yang termasuk perbuatan baik adalah melakukan amar dan nahyi berdasarkan jalan lurus, yakni keridhaan Allah swt.

    * Amar dan nahyi harus dilakukan secara lemah lembut. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah sikap lemah lembut dalam sesuatu melainkan membuatnya indah. Dan tiadalah sikap kasar dalam sesuatu melainkan membuatnya buruk.” (Muslim dan Ibnu Majah)

    * Seorang mukmin haruslah bersifat penyantun dan penyabar dalam menerima cobaan. (lihat Etika Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar, Ibnu Taimiyyah)

Sedangkan Imam Ibnul Qayyim menegaskan, “Bila yang akan terjadi –dengan nahyi munkar itu- semakin kuat dan semakin hebatnya kemungkaran, maka melakukannya dilarang dan jika engkau melakukannya maka engkau berdosa.” Ini menegaskan bahwa untuk melaksanakan perintah Allah, khususnya amar ma’ruf dan nahyi munkar, harus memakai akhlak yang diajarkan-Nya dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Allahu a’lam.

Rabu, 17 Oktober 2012

Manfaat Sedekah dari Yusuf Mansur


Yusuf Mansur menceritakan manfaat bersedekah dan keajaiban sedekah yang dialaminya sendiri. Sedekah Ustadz Yusuf Mansur secara ajaib membuatnya naik haji. Setelah kisah pertama tentang keajaiban sedekah dari Yusuf Mansur, mari kita simak Manfaat sedekah sehingga bisa naik haji dari Ustadz Yusuf.

Manfaat Sedekah dari Yusuf Mansur 2

Pendiri Daarul Qurían Internasional School, Ustadz Yusuf Mansur, mengaku pernah lupa bahwa manusia tak boleh memastikan sesuatu yang belum terjadi. Yusuf berkisah, pada 1990 lalu, ia yakin dan telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menunaikan ibadah haji. Namun, menjelang hari pemberangkatan ia memliliki masalah sehingga batal ke Tanah Haram. Begitu pula pada tahun 2003. Saat itu, Yusuf kembali memiliki segala persiapan untuk berangkat ke Arab Saudi. Namun karena terganjal masalah keluarga, lagi-lagi ia batal untuk menunaikan ibadah haji.
”Astaghfirullah. Saya pernah lupa sudah merasa yakin dan memastikan hal yang belum terjadi. La haula wala kuwata illah billah,” ujarnya. Tahun 2005, media massa kerap menggunakan gelar haji yang melekat pada dirinya. ”Padahal waktu itu saya belum berhaji. Alhamdulillah, itu saya anggap sebuah doa,” ujarnya. Ia pun sengaja tidak mengklarifikasi masalah itu karena gelar haji memotivasinya untuk terus memohon agar Allah mengijinkannya berhaji.

Setahun kemudian, sebuah travel terkemuka menawarkan dirinya untuk menunaikan ibadah haji secara gratis. Ia pun diamanahkan untuk menjadi pimpinan rombongan. Ia sempat menolak lantaran belum pernah menunaikan haji. Namun pihak travel terus mendesak ustadz yang pernah keranjingan balap motor ini. Akhirnya, ia pun setuju dan iklan pun dipajang untuk mengajak masyarakat berangkat haji bersamanya. Pendaftaran para calon jamaah haji pun mengalir. Antusias masyarakat yang ingin pergi bersamanya begitu tinggi.

Tapi Allah masih berkehendak lain. Menjelang pemberangkatan, pihak travel membatalkan dengan alasan jika belum berhaji tidak diizinkan memimpin rombongan. Akhirnya, pihak travel menawarkan dirinya menjadi jamaah lebih dulu, dan tahun berikutnya menjadi pemimpin rombongan. Tapi tawaran tersebut tak lagi gratis namun mendapat diskon hampir setengah harga. Pria kelahiran Jakarta, 19 Desember 1976 ini mengaku sempat menangis. Bukan karena biaya gratis yang dibatalkan. Ia khawatir merasa membohongi masyarakat dan membuat kecewa banyak calon jamaah.

Namun ia lebih sedih lantaran Allah tak jua memanggilnya untuk ke Tanah Suci. Ayah empat putra tersebut hampir saja khilaf dan memarahi pimpinan travel. Tapi ia terus bersabar dan bertawakal. Penggarap juga pemain film Kun Fa Yakuun ini sempat pesimis dirinya tak kan pernah berhaji. Yusuf sempat trauma membicarakan masalah haji, tapi kemudian bangkit lagi. Ia kemudian menyerahkan keinginan mulianya kepada Sang Khalik.
Di tengah kondisi yang kurang mengenakkan, tiba-tiba seorang sahabatnya dari luar kota datang dan hendak meminjam uang sebesar Rp 40 juta. Uang tersebut akan digunakan sahabatnya memberangkatkan saudaranya ke Tanah Suci. Karibnya itu memberi jaminan sebuah mobil tua yang kalau dijual harga tertingginya sekitar Rp 30 juta.

”Subhanallah walhamdulillah, karena saya sering menyuruh orang untuk bersedekah, saya diuji bertubi-tubi,” ujarnya. Dengan kesabaran dan keikhlasan, ia pun memberikan uang tersebut kepada kawannya. Sedangkan mobil tua itu ia biarkan saja. Yusuf sempat bertanya pada Allah tentang hikmah apa yang ada dibalik semua ujian kegagalannya berhaji. Setelah pendaftaran haji 2006 ditutup, ia pun pasrah. Tapi diluar dugaan, ia bertemu dengan seorang Habib keturunan Arab yang mengajaknya makan siang.

Di akhir pertemuannya, sang Habib menanyakan kapan berangkat haji. ”Saya cuma katakan, tidak jadi berangkat. Tidak punya uang,” ujarnya. Allah kemudian menunjukkan Kuasa-Nya. Di saat pendaftaran haji sudah tutup, ia bersama istrinya justru berangkat ke Tanah Haram. Yusuf pun semakin sadar apa yang ada dalam persepsi manusia tidak sepenuhnya benar. Ia pun semakin merasakan kehebatan sedekah yang luar biasa. ”Allah memiliki skenario terbaik,”

Begitulah kisah pribadi seorang Yusuf Mansur yang bersedekah dan diganti dengan lebih baik. Allah membalas sedekah seseorang itu dengan tidak tanggung-tanggung.

Senin, 15 Oktober 2012

Cara Mensyukuri Nikmat Allah Terkandung dalam Surat Al-Kautsar


Apakah manusia dapat mensyukuri nikmat-nikmat Allah? Cara apa yang paling tepat untuk mensyukuri nikmat-nikmat Allah Swt? Surat al-Kautsar telah menyediakan solusi paling tepat untuk manusia dalam hal ini.

Nikmat dan berkah Allah Swt yang tercurahkan dalam hidup, akan membuat manusia yang adil dan berakal untuk merenungkan bagaimana carnya mensyukuri nikmat-nikmat itu secara proporsional.

Allah Swt dalam surat al-Kautsar berfirman:
«إِنَّا أَعْطَیْناکَ الْکَوْثَرَ، فَصَلِّ لِرَبِّک...»؛
"Telah kami berikan kepada kalian kautsar (kebaikan dan berkah yang melimpah) maka shalatlah untuk Tuhanmu…"

Tugas yang dibebankan Allah Swt kepada manusia di hadapan seluruh nikmat-Nya adalah pensyukuran. Akan tetapi poin penting yang harus diperhatikan adalah antara nikmat dan syukur itu harus ada keseimbangan. Artinya, jika nikmat semakin besar maka syukurnya juga harus semakin bertambah. Dalam surat al-Kautsar, Allah Swt menyinggung nikmat-nikmat-Nya untuk Rasulullah Saw.

Kautsar adalah kata sifat untuk sesuatu yang melimpah dan artinya adalah kebaikan dan berkah yang melimpah. Nikmat yang melimpah ini tentu memerlukana syukur yang sangat besar juga. Oleh karena itu, Allah Swt menetapkan dua tugas di pundak Rasulullah Saw. Yaitu:
«فصل لربک و انحر»
"Shalatlah dan berkobanlah untuk Tuhanmu."

Tugas pertama dalam mensyukuri nikmat Allah Swt adalah shalat karena shalat adalah ibadan paling komprehensif dan sempurna. Harus ditekankan pula bahwa shalat itu harus dengan niat pendekatan diri keapda Allah Swt dan ditunaikan penuh keikhlasan. (IRIB Indonesia/MZ)

Jumat, 12 Oktober 2012

Rahasia Keagungan dan Keajaiban Hari Jum’at


Dari seluruh kaum dari umat-umat terdahulu, Allah mengkhususkan hari Jumat ini hanya bagi kaum Muslimin. Di dalamnya banyak rahasia dan keutamaan yang datangnya langsung dari Allah. Berikut adalah beberapa rahasia keagungan hari Jumat:
Pertama, Hari keberkahan. Di hari Jumat kaum Muslimin berkumpul di masjid-masjid untuk mendengarkan dua khutbah Jumat yang mengandung pengarahan dan pengajaran serta nasihat-nasihat yang ditujukan kepada kaum muslimin dan mengikuti shalat yang kesemuanya mengandung manfaat agama dan dunia. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menyebut hari Jumat memiliki 33 keutamaan. Bahkan Imam as-Suyuthi menyebut ada 1001 keistimewaan.
Kedua, Hari dikabulkannya doa. Di antara rahasia keutamaan hari Jumat lain adalah, di hari itu terdapat waktu-waktu dikabulkannya doa. Waktu yang harus diantisipasi adalah setelah shalat ‘ashr.
“Di hari Jumat itu terdapat satu waktu yang jika seorang Muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.’ Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu.” [HR.Bukhari dan Muslim]
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya pada hari Jumat terdapat waktu mustajab bila seorang hamba muslim melaksanakan shalat dan memohon sesuatu kepada Allah pada waktu itu, niscaya Allah akan mengabulkannya.” [Muttafaqun Alaih]
Ketiga, Hari Diperintahkannya Shalat Jumat. Rasulullah bersabda, “Hendaklah kaum-kaum itu berhenti dari meninggalkan shalat Jumat. Atau (jika tidak) Allah pasti akan mengunci hari mereka, kemudian mereka pasti menjadi orang-orang yang lalai.” [Muslim]. Dalam riwayat lain Rasulullah menyebutkan, “Shalat Jumat adalah hak yang diwajibkan kepada setiap Muslim kecuali empat orang; budak atau wanita, atau anak kecil, atau orang sakit.” [Abu Daud]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٩)
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [QS: Al-Jumu'ah:9]
مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنَ اْلإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا
“Barangsiapa yang bersuci dan mandi, kemudian bergegas dan mendengar khutbah dari awal, berjalan kaki tidak dengan berkendaraan, mendekat dengan imam, lalu mendengarkan khutbah dan tidak berbuat sia-sia, maka baginya bagi setiap langkah pahala satu tahun baik puasa dan shalatnya..”
,Keempat, Hari pembeda antara muslim dan non-muslim. Hari Jumat adalah hari istimewa bagi kaum Muslim. Selain itu diberikan Nabi untuk membedakan antara harinya orang Yahudi dan orang Nashrani.
Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah bersabda: “Allah telah memalingkan orang-orang sebelum kita untuk menjadikan hari Jumat sebagai hari raya mereka, oleh karena itu hari raya orang Yahudi adalah hari Sabtu, dan hari raya orang Nasrani adalah hari Ahad, kemudian Allah memberikan bimbingan kepada kita untuk menjadikan hari Jumat sebagai hari raya, sehingga Allah menjadikan hari raya secara berurutan, yaitu hari Jumat, Sabtu, dan Ahad. Dan di hari kiamat mereka pun akan mengikuti kita seperti urutan tersebut, walaupun di dunia kita adalah penghuni yang terakhir, namun di hari kiamat nanti kita adalah urutan terdepan yang akan diputuskan perkaranya sebelum seluruh makhluk.” [HR. Muslim]
Kelima, Hari Allah menampakkan diri. Dalam sebuah riwayat disebutkan, pada Hari Jumat Allah menampakkan diri kepada hamba-hamba-Nya yang beriman di Surga. Dari Anas bin Malik dalam mengomentari ayat: “Dan Kami memiliki pertambahannya” (QS.50:35) mengatakan: “Allah menampakkan diri kepada mereka setiap hari Jumat.”
Masih banyak keistimewan hari Jumat. Di antaranya adalah; Dalam “al-Musnad” dari hadits Abu Lubabah bin Abdul Munzir, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda:
“Penghulunya hari adalah hari Jumat, ia adalah hari yang paling utama di sisi Allah Subhanahu Wata’ala, lebih agung di sisi Allah Subhanahu Wata’ala dari pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Pada hari Jumat tersebut terdapat lima keistimewaan: Hari itu, bapak semua umat manusia, Nabi Adam ‘Alaihissalam diciptakan, diturunkan ke dunia, dan wafat. Hari kiamat tak akan terjadi kecuali hari Jum’at.
Karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sangat memuliakan hari ini, menghormatinya, dan mengkhususkannya untuk beribadah dibandingkan hari-hari lainnya. Perlu diketahui bahwa hari Jumat itu dimulai dari azan maghrib hari Kamis hingga sebelum azan mabhrib hari Jumat.[]
Hari Jumat milik siapa?
Selamat hari raya!
Demikianlah semestinya kita setiap muslim melakukannya ketika hari Jumat datang. Bergembira dan bersuka ria. Jika dalam 12 bulan setiap tahunnya, Allah memuliakan bulan Ramadhan. Maka hari Jumat diberikan keistimewaan dibandingkan hari-hari lainnya. Allah swt telah mengkhususkan untuk kaum muslimin yang belum pernah diberikan kepada umat-umat sebelumnya sebagai karunia dan pemuliaan terhadap umat ini.
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw, bersabda : “Sebaik-baik hari adalah hari Jumat, pada hari itu Nabi Adam as diciptakan, pada hari itu dia dimasukkan ke surga, pada hari itu dia dikeluarkan dari surga, dan hari kiamat tidak akan terjadi kecuali pada hari Jumat. (HR. Muslim ).
Sikap kita menyambut Hari Jumat
Kita menyaksikan sendiri di sekitar kita, ada dari segolongan umat lainnya, mereka begitu mengistimewakan setiap hari Sabtu atau hari Minggu. Mereka bergembira dan mengenakan pakaian terbaik yang mereka miliki ketika berkunjung ke tempat ibadah mereka. Tak kalah dari itu, terkadang mereka mengajak dan mendandani anak-anak mereka pula.
Rutinitas terkadang memang bisa membunuh! Mematikan jiwa dalam memaknai setiap langkah gerak kita. Termasuk di setiap hari Jumat yang kita lalui, berjalan begitu saja tanpa menghadirkan jiwa dan makna. Kita mendatangi mesjid-mesjid tanpa ekspresi, apa adanya. Bahkan dengan keringat dan bau yang menyengat dan setelah itu pun, selama khatib sedang berkhutbah, kita tertidur pulas !
Lantas, kebaikan apalagi yang tersisa untuk kita? Padahal Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang mandi pada hari Jumat, bersuci sesuai kemampuan, merapikan rambutnya, mengoleskan parfum, lalu berangkat ke masjid, dan masuk masjid tanpa melangkahi di antara dua orang untuk dilewatinya, kemudian shalat sesuai tuntunan dan diam mendengarkan tatkala imam berkhutbah, niscaya diampuni dosa-dosanya di antara dua Jumat”. (HR. Bukhari)
Hal-hal yang besar, terkadang dimulai dari hal yang kita anggap sepele. Apatah lagi apabila kita memang menyepelekan suatu perkara yang amat besar. Padahal menyabut gembira hari Jumat adalah perkara besar. Rasulullah saw berkata, “Hari Jumat adalah penghulu segala hari dan hari yang paling mulia di sisi Allah, hari Jumat ini lebih mulia dari hari raya Idhul Fitri dan Idul Adha di sisi Allah, pada hari Jumat terdapat lima peristiwa, diciptakannya Adam dan diturunkannya ke bumi, pada hari Jumat juga Adam dimatikan, di hari Jumat terdapat waktu yang mana jika seseorang meminta kepada Allah maka akan dikabulkan selama tidak memohon yang haram, dan di hari Jumat pula akan terjadi kiamat, tidaklah seseorang malaikat yang dekat di sisi Allah, di bumi dan di langit kecuali dia dikasihi pada hari Jumat.” (HR. Ahmad)
Umat lain punya hari Sabtu atau hari Minggu, kita pun umat islam punya hari Jumat. Kita menghormati dan memuliakannya. Jangan sebaliknya, kita bersikap seolah tidak memiliki hari istimewa tersebut; hampa dan kosong! Naudzubillahi min dzalik.
Sumber :
Adi Apriliansyah (Chairman DSIM)
Dimuat di Buletin Jumat Insan Mulia Edisi 245 / 15 Mei 2009
http://www.dsim.or.id/artikel-71-hari-jumat-milik-siapa.html
17 September 2009

Jum’at Hari yang Istimewa
Allah Subhana Wataala berkalam dalam kitab-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia [berada] dalam kesukaran/kesusahan” [QS al-Balad [90]:4].
Saking susahnya, tak sedikit orang yang lupa akan perputaran waktu termasuk nama hari. Apalagi untuk memahami makna hari. Saat ini, kita tengah berada dalam hari Jum’at. Apa itu Jum’at?, Dan apa keistimewaannya dibandingkan dengan hari-hari yang lain?
Jum’at adalah hari keenam dalam seminggu atau sepekan. Dalam literatur Arab, Jum’at [al-jumu’ah] juga terkadang digunakan untuk arti minggu [al-usbû’]. Jumat, yang secara utuh diserap dari kata Arab-Qur’ani, berasal dari akar kata jama’a-yajma’u-jam’an, artinya: mengumpulkan, menghimpun, menyatukan, menjumlahkan, dan meng-gabungkan.
Al-Jum’ah artinya: persatuan, persahabatan, kerukunan [al-ulfah], dan pertemuan [al-ijtima]. Meski secara umum dan keseluruhan semua hari – termasuk Jum’at – dalam seminggu itu bisa dikatakan sama atau tidak ada bedanya; namun hari Jum’at bagi kaum umatan muslimatan [kaum Muslimin/Muslimat], dipastikan memiliki keistimewaan tersendiri. Sama halnya dengan keistimewaan Sabtu bagi orang-orang Yahudi, dan Minggu untuk kawan-kawan Nasrani.
Bagi umat Islam, yang masih sempat atau sengaja menyempatkan diri untuk merenungkan makna-makna hari, paling sedikit didasarkan pada alasan utama tentang kebesaran hari Jum’at:
Pertama, satu-satunya nama hari yang dijadikan nama surat dalam Al-Qur’an ialah Jum’at, dalam kaitan ini surat al-Jumu’ah [62] yang terdiri atas: 11 ayat, 180 kata, dan 748 huruf. Di luar Jum’at, tak ada hari lain yang dijadikan nama surat dalam Al-Qur’an. Bahkan pada umumnya disebutkan pun tidak dalam Al-Qur’an. Kalaupun ada nama hari lain yang disebut dalam Al-Qur’an, bahkan penyebutannya beberapakali, namun hari tersebut tak dijadikan nama surat. Padahal, pengabadian sesuatu sebagai nama surat dalam Al-Qur’an, dipastikan menjadi simbol bagi kelebihan se-suatu.
Kedua, berbeda dengan enam hari lainnya yang diposisikan sebagai ‘anggota-anggota’ hari, Jum’at dijuluki se-bagai penghulu atau pemimpin hari. Gelar sayyid al-usbû’ [Pemimpin Minggu] atau saayid al-ayyâm [penghulu hari], mengisyaratkan hal itu. Paling tidak secara simbolis.
Ketiga, berlainan dengan kewajiban shalat [maktûbah] di hari-hari lain yang bisa dilakukan seorang diri [munfarid] sungguhpun tetap diimbau dengan sangat [sunnah mu’akkadah] untuk dilakukannya secara berjamah [bersama- sama], pelaksanaan shalat Jum’ah sesuai nama-nya, wajib dilaksanakan secara berjamaah. Bahkan ada di antara imam mazhab fikih yang mematok jumlah minimal jamaah shalat Jum’ah sebanyak 40 orang dewasa. Pensyariatanpelaksanaan shalat Jum’at harus dilakukan secara berjamaah, dipastikan memiliki nilai-nilai positif tersendiri. Paling tidak dalam rangka mempererat tali silaturrahmi, persaudaraan, persatuan dan kesatuan umat Islam.
Keempat, bagi kaum Muslimin, hari Jum’at dipastikan memberikan penambah pengetahuan tentang keagamaan, di samping merupakan hari-hari pemupukan persaudaraan keagamaan [ukhuwwah ad-dîniyyah] secara internal. Penyampaian khutbah Jum’at oleh ahli-ahli ke-Islam-an dan umumnya disampaikan orang-orang yang sejatinya menyandang predikat saleh, akan memberikan peningkat-an kecerdasan bagi umat Islam. Baik itu kecerdasan intelektualdengan kecerdasan spiritual. Paling tidak bagi mereka yang selalu mengikuti jamaah shalat Jum’at.
Kelima, banyak riwayat [hadits] yang menyebutkan kelebihan Jum’at dibandingkan dengan hari lain, terutama berkenaan dengan berbagai macam dzikir dan amalan-amalan tertentu yang memiliki nilai lebih dibandingkan dengan hal serupa atau bahkan sama tetapi dilakukan di hari lain.
Selain itu, bagi kaum pekerja, hari Jum’at memiliki suasana yang berbeda dibanding empat hari kerja lain. Jam kerja terasa pendek karena ada beberapa kegiatan di luar aktivitas kerja. Di pagi hari, sebagian instansi pemerintah atau kantor swasta menggelar senam pagi bersama. Selesai senam, baru saja ganti pakaian dan masuk kerja, sebentar kemudian sudah menjelang shalat Jum’at, semua aktivitas dihentikan untuk melaksanakannya.
Suasana yang berbeda di hari Jum’at tentu sangat dirasakan kaum muslim. Bagi muslim laki-laki diwajibkan untuk melaksanakan shalat Jum’at berjamaah. Karena itu mereka memenuhi masjid-masjid atau tempat melaksanakan shalat Jum’at yang lain. Ada siraman rohani, penyejuk iman dari khatib Jum’at.
Sebenarnya, tak hanya shalat Jum’at saja yang menjadikan Jum’at sebagai hari istimewa bagi kaum muslim. Jum’at juga menjadi hari besar yang berulang setiap pekannya, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw: “Hari ini adalah hari besar yang Allah tetapkan bagi umat Islam, maka siapa yang hendak menghadiri shalat Jum’at hendaklah mandi terlebih dahulu…” [HR. Ibnu Majah].
Perbandingan hari Jum’at dengan enam hari lain seperti perbandingan bulan Ramadhan dengan sebelas bulan lain. Karena itu bersedekah di hari Jum’at lebih mulia dibanding sedekah di hari-hari yang lain.
Langkah menuju ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at dihitung sebagai pahala. Aus bin Aus At-Thaqafi ra menyebutkan bahwa ia mendengar sendiri Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang mandi pada hari Jum’at, kemudian bersegera berangkat menuju masjid, dan menempati shaf terdepan, kemudian dia diam, maka setiap langkah yang dia ayunkan mendapat pahala puasa dan shalat selama satu tahun, dan itu adalah hal yang mudah bagi Allah”. [HR. Ahmad dan Ashabus Sunan, dinyatakan shahih oleh Ibnu Huzaimah].
Keistimewaan lain, pada hari Jum’at ada suatu waktu jika seseorang memohon dan berdoa kepada Allah, maka niscaya doa dan permohonan itu akan dikabulkan [disebut waktu mustajab]. Bukhari dan Muslim meriwayatkan sabda Rasulullah: “Di hari Jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seseorang muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.” Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu.” Mengenai kapan tepatnya waktu mustajab tersebut, para ulama berbeda pendapat. Di antara perbedaan itu ada dua pendapat yang paling kuat. Pertama, waktu yang mustajab itu saat duduknya imam sampai pelaksanaan shalat Jum’at. Pendapat ini dikuatkan Imam Nawawi. Sedangkan pendapat yang kedua menyebutkan batas akhir waktu tersebut hingga setelah ‘Ashar. Pendapat yang kedua ini dikuatkan Imam Ibnu Qayyim.
Hari Jum’at juga merupakan hari pengampunan dosa. Kaum muslim yang melaksanakan shalat Jum’at dan menyimak dan kecerdasan emosional, maupun kecerdasan moral dan dan bahkan kecerdasan sosial. Lebih-lebih lagi khutbah yang disampaikan khatib, akan diampuni dosa-dosanya sampai Jum’at berikutnya, asal ia tak melaksanakan dosa besar. Berkenaan dengan ini Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at dan bersuci semampunya, berminyak atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kemudian keluar [menuju masjid], dan dia tidak memisahkan dua orang [yang sedang duduk berdampingan], kemudian dia mendirikan shalat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan [dengan seksama] ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni [dosa-dosanya yang terjadi] antara Jum’at tersebut dan Jum’at berikutnya.” [HR. Bukhari]. Namun tak benar jika hal ini digunakan sebagai dalih untuk melakukan kesalahan atau dosa selama seminggu ke depan karena sudah diampuni dosanya dengan shalat Jum’at. Tak ada dosa kecil jika dilakukan berulang-ulang.
Yang lebih istimewa lagi adalah hari Jum’at merupakan Yaumil Mazid, hari saat Allah menampakkan diri kepada kaum mukminin di surga nanti. Allah berfirman: “Mereka di dalam surga memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya” [QS 50:35]. Anas bin Malik mengomentari ‘tambahannya’ dalam ayat ini: “Allah menampakkan diri kepada mereka setiap hari Jum’at”.
Adab dan Sunnah Hari Jum’at
Ada beberapa yang wajib dan sunnah untuk dilaksanakan kaum muslim di hari Jum’at. Yang paling utama adalah kewajiban muslim laki-laki untuk melaksanakan shalat Jum’at. Shalat ini bisa dilaksanakan di masjid-masjid atau tempat ibadah yang lain asalkan memenuhi syarat dan ketentuan yang ditetapkan.
Mengenai kewajiban tersebut disebutkan Allah dalam Al-Qur’an: “Wahai orang-orang yang ber-iman, apabila kamu diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, dan itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui” [QS 62:9].
Selain firman Allah dalam Surah al-Jumuah tersebut, ada beberapa hadits Rasulullah saw yang menegaskan kewajiban melaksanakan shalat Jum’at bagi muslim laki-laki. Hadits-hadits tersebut antara lain:
“Hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat Jum’at atau kalau tidak, Allah akan menutup hati mereka kemudian mereka akan menjadi orang yang lalai.” [HR. Muslim].
Rasulullah bersabda: “Shalat Jum’at itu wajib bagi tiap-tiap muslim, dilaksanakan secara berjama’ah terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil, dan orang yang sakit.” [HR. Abu Daud dan Al-Hakim, hadits shahih].
Sebagai pengingat agar kita tak lupa dan agar shalat Jum’at kita lebih sempurna pelaksanaannya perlu disampaikan beberapa adab dalam melaksanakan shalat Jum’at. Ketika waktu shalat Jum’at tiba, kita dianjurkan untuk datang ke masjid atau tempat ibadah lebih awal. Karena, pahala orang yang datang lebih awal lebih besar dibanding orang yang datang saat akhir. Perumpamaannya, seseorang yang datang di awal waktu, seperti orang yang berkorban dengan seekor unta, berikutnya seperti berkorban sapi, kambing, ayam, dan yang terakhir seperti bersedekah dengan sebutir telur. Batas akhir datang ke masjid saat shalat Jum’at adalah ketika khatib sudah duduk di mimbar, karena malaikat-malaikat pencatat amal manusia yang berada di setiap pintu masjid menutup buku catatannya dan mendengarkan khutbah.
Para sahabat dan tabi’in sangat memperhatikan anjuran untuk datang lebih awal ke masjid. Dahulu, semasa hidup para sahabat dan tabi’n mempunyai tradisi setiap hari Jum’at mereka datang ke masjid setelah shalat Shubuh. Di hari Jum’at, jalan-jalan menuju masjid ramai, orang memadati jalan sambil membawa lampu penerangan seperti ramainya ketika akan melaksanakan shalat hari raya Idul Fitri.
Dalam rangkaian shalat Jum’at ada khutbah yang disampaikan khatib. Para jamaah sangat dianjurkan untuk mendengarkan dan berusaha memahaminya. Berbicara saat khutbah sedang disampaikan sangat dibenci Rasulullah saw. Beliau menyebut perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang sia-sia dan tidak selayaknya dilakukan jamaah shalat Jum’at.
Seperti shalat jamaah pada shalat-shalat wajib yang lain, jamaah yang datang di awal dianjurkan untuk mengambil tempat paling depan, shaf terdepan dipenuhi terlebih dahulu. Untuk jamaah yang datang terlambat, yang datang setelah khatib sudah duduk di mimbar, dianjurkan untuk mengambil tempat paling belakang atau shaf paling belakang.
Jamaah yang telah datang, hendaknya melaksanakan shalat sunnah di antaranya shalat Tahiyatul Masjid [dua rakaat untuk menghormati masjid] dan shalat Qabliyah Jum’at [dua rakaat sebelum shalat Jum’at]. Setelah khatib duduk di mimbar tidak diperkenankan melakukan aktivitas kecuali shalat Tahiyatul Masjid. Shalat sunnah itu masih bisa dilakukan selama khatib menyampaikan khutbah tetapi harus dipercepat pelaksanaannya.
Amalan yang disunnahkan pada Hari Jum’at
Untuk melengkapi kesempurnaan ibadah, ada amalan-amalan yang dapat dilaksanakan di hari Jum’at. Antara lain, memperbanyak shalawat atas Nabi Muhammad saw. Makin banyak shalawat yang terucap kian baik karena akan mendekatkan derajat kaum muslim pada derajat Nabi.
Amalan lainnya adalah membaca Surah al-Kahfi. Dengan membaca surah tersebut diharapkan mendapat cahaya Allah yang diberikan di antara dua Jum’at. Surah al-Kahfi bercerita tentang sekelompok pemuda beriman [Ashhabul Kahfi] yang diselamatkan Allah dengan menidurkan mereka di dalam gua selama bertahun-tahun. Surah ke-18 Al-Quran ini menggambarkan kekuasaan Allah untuk memberi nikmat kepada hamba-Nya meski nikmat tersebut di luar kebiasaan. Juga tentang dasar-dasar tauhid dan kepastian datangnya hari kebangkitan.
Sedangkan bagi imam shalat Shubuh disunnahkan membaca Surah Sajadah dan al-Insan secara sempurna sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw dahulu. Surah Sajadah dan al-Insan mengandung segala sesuatu tentang awal penciptaan manusia dan kembalinya manusia kepada Allah, juga memuat peristiwa berkumpulnya manusia di padang Mahsyar dan bangkitnya manusia dari kubur. Disunnahkan juga di hari Jum’at untuk memperbanyak do’a dan memohon ampunan.
Meski Jum’at adalah hari yang sangat istimewa, tetapi kaum muslim tak diperkenankan untuk melebih-lebihkannya, misalnya dengan melaksanakan puasa hanya di hari Jum’at saja dengan alasan untuk mengkhususkannya. Boleh melaksanakan puasa di hari Jum’at asal di hari sebelum atau sesudahnya juga melaksanakan puasa. Semoga kita bisa lebih memahami dan memaknai kebesaran dan kelebihan hari Jum’at di masa-masa yang akan datang. Aamiin
Ingatlah Allah ketika dalam keramaian, niscaya Dia mengingatmu ketika sendirian. Bersyukurlah kepada-Nya saat senang, niscaya Dia mensyukurimu di saat susah. Jangan ingkari nikmat-Nya agar siksa tidak menimpamu.
Meninggal di Hari Jum’at Bebas Siksa Kubur?
Pertanyaan :
Saya pernah mendengar bahwa orang yang meninggal di hari Jum’at akan dibebaskan dari siksa kubur. Apakah hal itu benar? Kalau memang benar, batas waktu yang dianggap hari Jum’at itu mulai jam berapa sampai jam berapa? Mohon penjelasannya. Terima kasih.
WAssalamualaikum,
Alfiah Dewi
Jawaban :
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,
Keterangan seperti ini memang ada di dalam beberapa riwayat yang shahih dari Rasulullah SAW. Salah satunya adaah hadits berikut ini:
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلا وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ. رواه الترمذي 1074.
Dari Abdullah bin Amru ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tidaklah seorang muslim meninggal di hari Jumat, kecuali Allah lindungi dari fitnah kubur.
Syeikh Nashiruddin Al-Albani termasuk di antara ulama yang menshahihkan hadits ini, sebagaimana yang tercantum di dalam kitab Ahkamul-Janaiz halaman 49-50.
Matan hadits ini tidak menyebutkan seseorang yang mati di hari Jumat akan dibebaskan dari azab kubur, melainkan Allah SWT lindungi dari azab kubur. Boleh jadi seharusnya dia disiksa di alam kuburnya, dan siksaan itu memang ada. Hanya kemudian Allah SWT melindunginya dari tersentuh siksaan itu.
Namun tentunya ini khusus buat orang Islam yang shalih dan taat saja. Di mana mungkin saja di balik keshalihan dan ketaatannya, masih tersisa sedikit dari dosa-dosa kecil yang tak luput dari tiap orang.
Hadits ini tidak termasuk orang kafir/non muslim, atau yang berIslam hanya KTP-nya saja. Demikian juga dengan pelaku dosa-dosa besar seperti pezina, penjudi, peminum khamar, maling/ koruptor, penghina agama Allah, pelaku bid’ah atau orang yang percaya bahwa semua agama sama, jelas pasti akan disiksa di alam kuburnya lalu di dalam neraka.
Selain itu, hadits ini juga tidak boleh dipahami secara terbalik. Misalnya, kita menyimpulkan secara keliru bahwa orang yang tidak mati di hari Jumat pasti akan disiksa. Ini adalah metode pembalikan logika yang tidak tepat. Sebab banyak sekali orang shalih bahkan para nabi yang meninggalnya bukan hari Jumat.
Hadits ini menerangkan fadhilah hari Jumat, bukan menetapkan bahwa yang meninggal bukan hari Jumat akan disiksa.
Batas Hari Jumat
Dalam sistem kalender Islam, masuknya tanggal baru itu dimulai sejak terbenam matahari dan berakhir 24 jam kemudian, dengan terbenamnya matahari keesokan harinya.
Dengan cara demikian, kita menetapkan tanggal 1 Ramadhan, tanggal 1 Syawwal dan semua hari dalam agama.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc.

Jumat, 05 Oktober 2012

Dasar Hukum Haji dan Umrah

Para ulama fiqih sepakat bahwa ibadah haji dan umrah adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim yang mempunyai kemampuan biaya, fisik dan waktu, sesuai dengan nash Al-Qur’an:

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاَ *

Artinya : “Dan Allah mewajibkan atas manusia haji ke Baitullah bagi orang yang mampu mengerjakannya” . (QS.3:97).

Firman Allah :

وَاَتِمُّواالْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ِللهِ* 

Artinya : “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah”. (QS. 2:196).


Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyeru ibadah haji tersebut ke seluruh penjuru dunia, sehinga berdatanganlah orang-orang dari seluruh penjuru dunia yang jauh dengan berjalan kaki atau berkendaraan, sesuai dengan firman Allah:

وَاَذِّنْ فِىالنَّاسِ بِاالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجاَلاً وَعَلى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْ تِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ*

Artinya : “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh”. (QS. 22: 27).

Kewajiban haji hanya sekali seumur hidup, sedangkan haji berikutnya hukumnya sunah. Sabda Rasulullah saw.

أَلْحَجُّ مرَّةٌ فَمَنْ زَادَ فَهُوَ تَطَوَّعٌ *

Artinya :“Haji itu wajibnya hanya satu kali, dan selebihnya adalah sunnah” (HR. Ahmad, Nasai dan Ibnu Majah).

Apabila sudah memiliki bekal yang cukup untuk berangkat haji, segera berangkat menunaikannya karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari. Sabda nabi.

تَعَجَّلُوْا اِلَىالْحَجِّ يَعْنِىالْفَرِيْضَةَ فَاِنَّ اَحَدَكُمْ لاَتَدْرِى مَايَعْرِضُ لَهُ *

Artinya : “Bersegeralah kamu menunaikan ibadah haji, yakni menunaikan kewajiban, maka sesungguhnya kamu tidak mengetahui sesuatu yang akan datang (yang akan terjadi)”. (HR. Ahmad).

Lebih dari itu, bagi orang yang sudah mampu tapi enggan berangkat menunaikan ibadah haji, maka baginya mati Yahudi atau Nasrani, sabda nabi.

مَنْ مَلَكَ زَادً وَرَاحِلَةً وَلَمْ يَحُجَّ بَيْتَ اللهِ فَلاَ يَضُرُّهُ مَاتَ يَهُوْدِيًّااَوْ نَصْرَانِيًّا *

Artinya : “Barang siapa yang telah memiliki bekal dan kendaraan (sudah mampu), dan ia belum haji ke Baitullah maka tidak ada yang menghalangi baginya mati Yahudi atau Nasrani”. (HR. Tirmidzi).

Rabu, 03 Oktober 2012

Menegakkan Hakikat Shalat


`Jikalan sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. "(Al-A'raf 96) 
`Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan aural-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap meyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah janj) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. "(An-Nur: 55)
Bila iman sudah benar maka seorang hamba pasti menghadap pada shalat dan tiang agamanya dengan adab penghambaan di hadapan Allah ; khusyu', merendah diri dan merasakan seolah-olah betul-betul berdiri di hadapan Allah Yang Maha Mulia, sehingga hati tidak menoleh kepada yang lain daripada-Nya. Dia terus mengumpulkan segenap pikiran dan perhatiannya kepada-Nya, berdiri dan berbaris seperti orang yang meminta perlindungan, miskin, dan susah. Lalu berbisik kepada Rabb-nya, mengagungkan dan memohon ampunan dari lubuk hati yang paling dalam, karena menginginkan karunia-Nya, mengharap dan cemas, melimpahkan semua hajatnya kepada-Nya, menyibukkan diri dengan-Nya, melupakan yang lain daripada-Nya. dan memalingkan hati dan pandangannya dari dunia. Ia berjuang melawan nafsunya, sabar dan terus bersabar untuk menguasainya hingga tertunduk hanya kepada Tuan dan Penciptanya karena dia ingin Tuhan tidak berpaling daripadanya. Dalam shalat ini dia berpindah-pindah dari satu taman ke taman yang lain, dari membaca firman Tuhannya yang disertai dengan perenungan beralih kepada mengagungkan-Nya dengan penyucian, kemudian berdoa dalam sujud, memohon ampun, dan merninta perlindungan dari segala keburukan. 
Alangkah agungnya suasana saat itu dan alangkah agungnya apa yang dihadapi saat itu. Tatkala seorang hamba menghadap Tuhannya dengan segenap hati dan anggota tubuhnya, mengharapkan rahmat dan memohon kasih sayang-Nya dengan jiwa yang berdosa, hina, rendah, miskin dan meminta pertolongan. 
Karena ia menghadapi fitnah dan cobaaan setiap hari, maka ia memohon kepada Tuhannya agar melindunginya, menjaga, menetapkan dan menerima dirinya. Dia memohon agar diberi hidayah, tafiq dan dibuka hatinya. Jika diterima, maka dia meraih kemenangan dan keuntungan. Namun jika ditolak maka alangkah besar kerugian dan alangkah pahitnya kesengsaraan. Khusyu' adalah berdirinya hati di hadapan Tuhannya dengan sikap tunduk dan hina. Ada pula yang mengatakan, "Khusyu' adalah padamnya api syahwat dan hilangnya asap dada serta bersinarnya cahaya pengagungan Allah" 
Dengan khusyu' dan tadabbur (merenung), shalat menjadi penyejuk mata dan penerang hati dan wajah. Rasul bersabda,
`Dan dijadikan kesejukan mataku di dalam shalat." 
Dengan shalat manusia terbebas dari setiap petaka, kekejian dan kemunkaran.
`Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan­perbuatan) keji dan mungkar."(Al-Ankabut: 45). 
Dengan shalat sejati, seluruh amal menjadi baik dan diterima ole Allah, dan dengan rusaknya shalat, maka rusaklah seluruh amal. Denga shalat seorang hamba dapat merasakan manisnya bermunajat, dan naik di tangga ubudiyah. Dengan shalat, ia mengenal Tuhannya, menikmati munajat merasakan manis dan lezat yang tidak dirasakan oleh orang-orang yang lalai. Apabila kamu ingin mengetahui kedudukanmu di sisi Allah maka lihatlah kepada kedudukan shalat dalam dirimu dan seberapa banya bagianmu daripadanya. Shalat adalah hubungan antara hamba dan Tuhannya. Ia adalah garis batas antara kufur dan Islam. Ia adalah lima kali dengan pahala lima puluh kali. Ia adalah ibadah yang diwajibkan dari atas langit ketujuh antara Allah dengan Muhammad tanpa perantarn Dialah ibadah yang siapa menjaganya maka terhadap kewajiban lain ia akan lebih mampu menjaga. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya maka ia lebih berani menyia-nyiakan yang lain. Ia adalah perkara yang diwasiatkan terakhir kali oleh Rasul kepada umatnya. Beliau bersabda,
"Shalat Shalat dan budak yang menjadi milikmu. "
Beliau bersabda,
`Sesunguhnya apabila seorang hamba berdiri shalat maka ia datang dengan membawa seluruh dosanya, lalu dia letakkan di atas kepala dan kcdua pundaknya maka setiap kali dia ruku' atau sujud dosa-dosa itu berguguran. "(HR. Tabrani) .H
Lalu mengapa kita tidak mengindahkan jiwa shalat dan hakikatnya? Kita melaksanakannya dengan anggota tubuh kita, tetapi hati kita lalai dai melayang. Sehingga shalat tidak berpengaruh pada perilaku orang yang shalat. Shalat tidak mengalirkan hawa panas, kekuatan, kehadiran hati dan perubahannya. Adalah Ali bin Husen r.a. apabila wudhu, maka wajahnya berubah pucat, lalu ditanyakan kepadanya, "Apa yang biasa terjadi pada anda di saat wudhu?!" Beliau berkata, "Tahukah kalian di hadapan siapakah aku hendak berdiri?" N
Hudzaifah r.a. berkata, "Hindarilah oleh kalian khusyu' nifaq". Ditanyakan kepadanya, "Apa itu khusyu' nifaq?" Dia menjawab, "Kamu melihat jasadnya khusyu', padahal hatinya tidak kbusyu'.
Ibnul Qayyim menyebutkan, khusyu' yang benar itu memiliki tiga tingkatan:
1. Tunduk kepada perintah Allah. Yaitu seorang hamba menerima perintah Allah dengan merendah diri, tunduk dan patuh dengan menampakkan rasa kebutuhannya kepada hidayah sebelum melakukannya. Rasa kebutuhannya kepada pertolongan-Nya ketika melakukannya dengan harapan diterima setelah melakukannya, serta memohon ketetapan setelah matinya.
2. Mewaspadai penyakit-penyakit hati dan amal. Ia mengantisipasi kemunculannya dan mengkhawatirkan rusaknya amal karena penyakit-penyakit hati seperti sombong, ujub, riya , lemah dalam sifat shidq, lemah dalam keyakinan serta niat yang bercabang-cabang. Ia waspada agar tidak menisbatkan karunia yang diterimanya kepada manusia, tetapi semua karunia dinisbatkan kepada Allah.
3. Menjaga dirinya untuk tidak mengungkit-ungkit amal atas Allah, atau persangkaan bahwa dirinya memiliki hak atas Allah. Ia berupaya keras agar manusia tidak mengetahui keadaannya bersama Allah tidak membuatnya ujub, itu dapat menutupi hati, niat dan keadaannya .N
Khuyu'di tengah-tengah shalat tidak lepas dari khusyu'--nya hati di luar shalat. Adapun jika seorang itu lalai sepanjang waktu, kemudian ingin khusyu' di dalam shalat maka ini tidak mungkin dan mustahil , H
Di antara perkara yang dapat membantu khusyu' dalam shalat adalah sebagai berikut:
1. Memperhatikan wudhu dan menyempurnakannya, menghadirkan rasa beribadah di dalamnya, menghadirkan hati, dan mencari pahala cucuran air yang mengalir dari anggota wudhu, karena dosa-dosa berguguran bersamanya.
2. Cepat-cepat ke masjid,N melakukan shalat sunnah sebelum shah fardhu, membaca Al-Qur'an, dzikir danistighfar, supaya jiwa menjadi tenang, terputus dari kesibukan dunia dan menghadapi shalat setelah duduk di masjid. Berbeda dengan orang yang terlambat yang begitu datang dari urusan dunia langsung memasuki shalat.
3. Berupaya merasakan keagungan Allah di saat takbiratul ihram "Allah Akbar". Berusaha merenungkan hakikatnya dan menyesuaikan hati dengan apa yang diucapkan lisannya. Karena Allah lebih besar dari segala sesuatu, maka hendaklah engkau mengagungkan-Nya janganlah engkau disibukkan oleh selain-Nya.
4. Merenungkan makna-makna bacaan yang kamu baca di dalam shalat Seperti ayat-ayat Al-Qur'an, tasbih,doa dan lainnya. Supaya tercipta ketenangan, pengambilan pelajaran dan hati sibuk dengan makna makna tersebut.
5. Shalatlah seperti orang yang mau berpamitan, yang tidak mengetahui apakah ia akan shalat lagi sesudahnya atau tidak, karena detik-deti akhir adalah sangat mahal, terutama shalat terakhir apabila kita aka merasa berpisah darinya.
6. Peliharalah shalat berjamaah karena ia adalah wajib. Masuk ke dalan barisan orang yang shalat mengundang rahmat yang mencakup seluruh orang yang shalat. Mereka itulah kumpulan orang yang beruntung. Siapa saja yang bergabung dengan mereka tidak akan celaka, karena mereka sedang berada dalam dzikir yang terbesai terutama shalat Subuh. Sebab, ia adalah shalat yang dihadiri oleh para malaikat, maka menghadirinya berarti menunjukkan kejujurannya bersama Allah. Ia rela meninggalkan tempat tidurnya, rasa kantuknya (dan istrinya). Ia bangkit mendatangi panggilan Tuhannya, berjalan di kegelapan malam (menembus hawa dingin yang menusuk tulang - pent), guna mendatangi masjid. Berbeda dengan orang munafiq yang merasa berat inelakukannya.
Itulah shalat yang banyak dilalaikan kaum muslimin. Demi Allah ini adalah musibah, benar-benar musibah! Ia tidak menegakkan shalat kecuali kalau mau mengerjakannya. Bagaimana orang yang seperti ini mengharapkan kebaikan dan kelezatan dalam shalatnya. Apakah ia ingin agar shalatnya menyucikannya dari perbuatan keji dan mungkar sementara kondisinya seperti ini?
7. Setelah selesai shalat harus melakukan evaluasi, apakah telah berhasil khuysu' di dalamnya atau tidak? Apabila belum berhasil karena lalai maka harus menyalahkan dirinya dan menyesalinya. Dia harus berbela sungkawa atas kerugian yang melebihi kerugian harta.
8. Jagalah shalat-shalat sunnah, rawatib dan yang bukan rawatib, karena shalat-shalat sunnah itu menutupi kekurangan yang terjadi di dalam shalat fardhu, Nabi bersabda,
`Barangsiapa melakukan satu shalat yang ia tidak menyempurnakannya maka ditambahkanlah kepadanya dari shalat-shalat sunnahnya hingga sempurna. "(HR. Thabrani).H
Ibnul Jauzi berkata, "Seyogyanya orang yang shalat itu menghadirkan hatinya dalam segala sesuatu dari shalatnya. Apabila ia mendengar panggilan muadzin maka hendaklah panggilan itu menggambarkan hari Kiamat dan bergegas menjawabnya. Hendaklah ia memperhatikan dengan apa ia menjawab, dengan badan bagaimana ia harus hadir. Hendaklah mengingat cacatnya yang tersembunyi dan dosa-dosa rahasia yang tidak diketahui manusia, kecuali oleh Penciptanya. Hendaklah ia berupaya menghapusnya dengan penyesalan, takut dan malu. Apabila ia menghadap kiblat dengan wajahnya, maka menghadapkan hatinya kepada Allah adala. lebih utama.
Apabila engkau bertakbir wahai orang yang shalat, janganlah hatimu mendustakan lisanmu. Jika di dalam hatimu ada yang lebih besar dari Alla. maka engkau telah berdusta. Waspadailah jika hawa nafsu lebih besar daripada Allah dengan bukti kamu lebih mengutamakan menyetujui nafsu daripada ketaatan kepada Allah.
Apabila lisanmu meminta perlindungan (isti'adzah) maka sesungguhnya isti'adzah itu meminta perlindungan kepada Allah. Apabil hatimu tidak berlindung kepada Allah, itu berarti ucapanmu tidak ad manfaatnya.
Hadirkanlah upaya pemahaman dengan hatimu ketika kamu mengucapkan,
(الحد لله ربّ العلمبن ) Hadirkan kasih sayang-Nya ketika kamu mengucapkan
(الرّحمن الرّحبم). Hadirkan keagungan-Nya ketika kamu mengucapkan,(مالك بوم الد ين). Hadirkan pada waktu sujudmu tawadhu', daripada waktu sujudmu hina dan rendah diri. Karena engkau telah menempatkan dirimu tepat pada kedudukannya dan kamu telah mengembalikan badan kepada asalnya, sebab kamu dicipta dari tanah.
Ketahuilah, shalat dengan syarat-syarat ini adalah faktor pembersih hati dari kotoran, karatan dan sebab meraih cahaya di dalam hati, yan karenanya keagungan Yang Maha Disembah terlihat jelas dan rahasia-rahasia-Nya dapat diketahui. Hal ini tidak akan dipahami kecuali oleh orang-orang yang alim. Adapun orang yang menegakkan gambar shalat tanpa maknanya, maka dia tidak akan memahami hal ini sama sekali, bahkan bisa jadi mengingkarinya .H