Al-'Ashr

<a href="http://www.clock4blog.eu">clock for blog</a>
Free clock for your blog

Rabu, 29 Mei 2013

Memahami Definisi Wakaf

Wakaf secara bahasa bermakna الْحَبْسُ yang artinya tertahan. Adapun secara istilah syariat, sebagian ulama menyebutkan bahwa wakaf adalah:
تَحْبِيْسُ الْأَصْلِ وَتَسْبِيْلُ اْلمَنْفَعَةِ
“Menahan suatu benda dan membebaskan/mengalirkan manfaatnya.”
Maksud dari definisi di atas adalah sebagai berikut.
1. Menahan adalah kebalikan dari membebaskan. Dengan demikian, menahan bendanya berarti menahan atau membekukan benda dari berbagai bentuk kepemilikan.
2. Yang dimaksud dengan benda dalam definisi di atas adalah segala sesuatu yang bisa diambil manfaatnya, dengan mempertahankan bendanya (tidak habis/hilang bendanya setelah diambil manfaatnya). Contohnya, rumah, pohon, tanah, mobil, dan semisalnya.
Asy-Syaikh Abdullah al-Bassam Rahimahullah mengatakan, “Benda yang hilang/habis zatnya setelah dimanfaatkan disebut sebagai sedekah, bukan wakaf.” (Taudhihul Ahkam)
3. Kalimat “membebaskan manfaatnya” ialah untuk membedakan antara wakaf dengan gadai dan yang semisalnya. Gadai, meskipun memiliki kesamaan dalam hal menahan bendanya, namun memiliki perbedaan dalam hal tidak diambil manfaatnya.
4. Manfaat yang dimaksud dalam definisi di atas adalah penggunaan dan hasil dari benda tersebut, seperti hasil panen, uang yang dihasilkan dari pemanfaatannya sebagai tempat tinggal, dan yang semisalnya. Oleh karena itu, hibah tidak masuk dalam definisi ini. Hibah adalah pemberian bendanya, sedangkan wakaf hanyalah mengambil manfaat atau hasil dari harta tersebut.
Contohnya, seseorang mewakafkan rumahnya untuk orang-orang miskin. Harta yang berupa rumah tersebut ditahan sehingga tidak dijual, diberikan, atau diwariskan. Manfaatnya diberikan untuk orang miskin secara mutlak. Siapa saja yang tergolong orang miskin berhak untuk memanfaatkannya. (Lihat al-Mughni, Minhajus Salikin, asy-Syarhul Mumti’, dan Mulakhas al-Fiqhi)

Dasar Hukum Wakaf

Disyariatkannya wakaf di antaranya ditunjukkan oleh dalil-dalil sebagai berikut.
1. Dalil dari al-Qur’an
Secara umum wakaf ditunjukkan oleh firman AllahTa’ala :
“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai dan apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali ‘Imran: 92)
Begitu pula ditunjukkan oleh firman-Nya:
“Apa saja harta yang baik yang kalian infakkan, niscaya kalian akan diberi pahalanya dengan cukup dan kalian sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (al-Baqarah: 272)
2. Dalil dari al-Hadits
Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-’Utsaimin Rahimahullah mengatakan, “Yang menjadi pijakan dalam masalah ini (wakaf) adalah bahwasanya Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab Radhiyallaahu ‘anhu memiliki tanah di Khaibar. Tanah tersebut adalah harta paling berharga yang beliau miliki. Beliau pun datang menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wasallam  untuk meminta pendapat beliau Shallallaahu ‘alaihi Wasallam   tentang apa yang seharusnya dilakukan (dengan tanah tersebut)—karena para sahabat g adalah orang-orang yang senantiasa menginfakkan harta yang paling mereka sukai. Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam   memberikan petunjuk kepada beliau untuk mewakafkannya dan mengatakan,
إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا، وَتَصَدَقْتَ بِهَا
“Jika engkau mau, engkau tahan harta tersebut dan engkau sedekahkan hasilnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Ini adalah wakaf pertama dalam Islam. Cara seperti ini tidak dikenal di masa jahiliah.” (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
Disyariatkannya wakaf juga ditunjukkan oleh hadits:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ إِلاّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالحِ يَدْعُوْ لَهُ
“Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputus darinya amalnya kecuali dari tiga hal (yaitu): dari sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, al-Imam an-Nawawi t berkata terkait dengan hadits ini, “Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tentang benar/sahnya wakaf dan besarnya pahalanya.” (al-Minhaj, Syarh Shahih Muslim)
3. Ijma’
Disyariatkannya wakaf ini juga ditunjukkan oleh ijma’, sebagaimana diisyaratkan oleh al-Imam at-Tirmidzi t ketika menjelaskan hadits Umar Radhiyallaahu ‘anhu tentang wakaf.
Beliau berkata, “Ini adalah hadits hasan sahih. Para ulama dari kalangan para sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam   dan yang lainnya telah mengamalkan hadits ini. Di samping itu, kami tidak menjumpai adanya perbedaan pendapat di kalangan orang-orang yang terdahulu di antara mereka tentang dibolehkannya mewakafkan tanah dan yang lainnya.” (Jami’ al-Imam at-Tirmidzi)
Wallahu a’lam.

Kapan Seseorang Telah Teranggap Mewakafkan Hartanya?

Wakaf akan terjadi atau teranggap sah dengan salah satu dari dua cara berikut.
1. Ucapan yang menunjukkan wakaf, seperti, “Saya wakafkan bangunan ini,” atau, “Saya jadikan tempat ini sebagai masjid.”
2. Perbuatan yang menunjukkan wakaf, seperti menjadikan rumahnya sebagai masjid dengan cara mengizinkan kaum muslimin secara umum untuk shalat di dalamnya; atau menjadikan tanahnya menjadi permakaman dan membolehkan setiap orang mengubur jenazah di tempat tersebut.
Ketika seseorang membangun masjid dan mengatakan kepada orang-orang secara umum (disertai niat berwakaf), “Shalatlah di tempat ini!”, berarti dia telah mewakafkan tempat tersebut meskipun dia tidak mengucapkan, “Saya wakafkan tempat ini untuk masjid.”
Jika yang ia inginkan dari perbuatan tersebut sekadar meminjamkan tempat yang dia bangun untuk shalat, dia harus menulis bahwa tempat tersebut hanya dipinjamkan, sewaktu-waktu dibutuhkan akan diambil kembali. Jadi, jika seseorang membangun tempat shalat di kebunnya dan suatu saat ada orang yang shalat di tempat tersebut, tempat tersebut tidak teranggap sebagai wakaf untuk masjid.
Begitu pula ketika seseorang memagar tanahnya dan mengatakan, “Barang siapa yang ingin memakamkan jenazah silakan memakamkannya di tempat ini.” Perbuatan tersebut menunjukkan wakaf meskipun dia tidak menulis di pintu masuk kebunnya bahwa kebun tersebut adalah permakaman. (Lihat asy-Syarhul Mumti’ dan Mulakhash Fiqhi)

Keistimewaan Wakaf

Di antara keistimewaan wakaf dibandingkan dengan sedekah dan hibah adalah dua hal berikut ini.
1. Terus-menerusnya pahala yang akan mengalir. Ini adalah tujuan wakaf dilihat dari sisi wakif (yang mewakafkan).
2. Terus-menerusnya manfaat dalam berbagai jenis kebaikan dan tidak terputus dengan sebab berpindahnya kepemilikan. Ini adalah tujuan wakaf dilihat dari kemanfaatannya bagi kaum muslimin.
 Jadi, dalam hal ini wakaf memiliki kelebihan dari sedekah lainnya dari sisi terus-menerusnya manfaat. Bisa jadi, seseorang menginfakkan hartanya untuk fakir miskin yang membutuhkan dan akan habis setelah digunakan. Suatu saat dia pun akan mengeluarkan hartanya lagi untuk membantu orang miskin tersebut. Bisa jadi pula, akan datang fakir miskin yang lainnya, namun pulang tanpa mendapatkan apa yang diinginkannya.
Adalah kebaikan dan manfaat yang besar bagi masyarakat ketika ada yang mewakafkan hartanya dan hasilnya diberikan untuk fakir miskin. Bendanya tetap ada, namun manfaatnya terus dirasakan oleh yang membutuhkan.
Di antara keistimewaan wakaf adalah terus-menerusnya manfaat hingga generasi yang akan datang tanpa mengurangi hak atau merugikan generasi sebelumnya. Demikian pula, wakif akan mendapat pahala yang terus-menerus dan berlipat-lipat.
Oleh karena itu, kita dapatkan para sahabat adalah orang-orang yang sangat bersemangat mewakafkan hartanya. Kita bisa melihat bagaimana sahabat Umar bin al-Khaththab z, sebagaimana dalam hadits yang sudah disebutkan. Beliau memiliki tanah yang sangat bernilai bagi beliau karena hasil dan manfaatnya yang begitu besar. Namun, beliau menginginkan harta itu untuk akhiratnya.
Beliau menghadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam untuk meminta petunjuk tentang hal tersebut. NabiShallallaahu ‘alaihi Wasallam menyarankan agar Umar menyedekahkannya. Sedekah tanpa dijual, ditukar, atau dipindah, yaitu dengan memanfaatkan tanah tersebut dan hasilnya disedekahkan untuk fakir miskin dan yang lainnya, sedangkan tanahnya ditahan. Tanah itu tidak bisa diambil lagi oleh pemiliknya, tidak boleh dibagikan untuk ahli warisnya, serta tidak boleh dijual dan dihibahkan.
Termasuk wakaf yang dilakukan oleh para sahabat adalah apa yang disebutkan oleh sahabat Utsman bin ‘Affan z berikut. Ketika NabiShallallaahu ‘alaihi Wasallam datang di kota Madinah dan tidak menjumpai air yang enak rasanya selain air sumur yang dinamai Rumah, beliau Shallallaahu ‘alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ يَشْتَرِي بِئْرَ رُومَةَ فَيَجْعَلَ دَلْوَهُ مَعَ دِلَاءِ الْمُسْلِمِينَ بِخَيْرٍ لَهُ مِنْهَا فِي الْجَنَّةِ. فَاشْتَرَيْتُهَا مِنْ صُلْبِ مَالِي
“Tidaklah orang yang mau membeli sumur Rumah kemudian dia menjadikan embernya bersama ember kaum muslimin (yaitu menjadikannya sebagai wakaf dan dia tetap bisa mengambil air darinya) itu akan mendapat balasan lebih baik dari sumber tersebut di surga.” Utsman mengatakan, “Aku pun membelinya dari harta pribadiku.” (HR. at-Tirmidzi dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani)
Bahkan, sahabat Jabir Radhiyallaahu ‘anhu sebagaimana dinukilkan dalam kitab al-Mughni mengatakan,
لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ n ذُوْ مَقْدَرَةٍ إِلاَّ وَقَفَ
“Tidak ada seorang pun di antara para sahabat Nabi yang memiliki kemampuan (untuk berwakaf) melainkan dia akan mengeluarkan hartanya untuk wakaf.”
Sebelumnya, tentu saja adalah panutan umat, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wasallam. Beliau adalah suri teladan dalam seluruh kebaikan, termasuk wakaf. Sahabat ‘Amr ibn al-Harits z mengatakan,
مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ n عِنْدَ مَوْتِهِ دِرْهَمًا وَلاَ دِينَارًا وَلاَ عَبْدًا وَلاَ أَمَةً وَلاَ شَيْئًا إِلاَّ بَغْلَتَهُ الْبَيْضَاءَ وَسِلاَحَهُ وَأَرْضًا جَعَلَهَا صَدَقَةً
“Setelah RasulullahShallallaahu ‘alaihi Wasallam wafat, beliau tidak meninggalkan dirham, dinar, dan budak lelaki atau perempuan. Beliau hanya meninggalkan seekor bighal (yang diberi nama) al-Baidha’, senjata, dan tanah yang telah beliau jadikan sebagai sedekah.” (HR. al-Bukhari)
Al-Imam Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari menjelaskan riwayat ini, “Beliau Shallallaahu ‘alaihi Wasallam menyedekahkan manfaat dari tanahnya. Hukumnya adalah hukum wakaf.”
Kaum muslimin yang bersemangat mencontoh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wasallam dan menginginkan keutamaan yang besar, tidak akan menyia-nyiakan pintu kebaikan yang berupa wakaf ini, baik wakaf yang ditujukan sebagai tempat ibadah maupun yang lainnya, berupa kegiatan pendidikan, dakwah, dan sosial. Dengan izin Allah l, hal ini akan menjadi kebaikan yang besar bagi kaum muslimin dan menjadi sebab baiknya kehidupan sebuah masyarakat.
Sungguh, betapa besar manfaatnya bagi kaum muslimin ketika muncul orang-orang yang mewakafkan hartanya untuk mendirikan pondok pesantren atau tempat pendidikan yang mengajarkan hafalan al-Qur’an kepada anak-anak kaum muslimin, tajwid, dan mempelajari kandungannya.
Begitu pula ketika orang-orang mewakafkan hartanya untuk operasional belajar-mengajar di pondok-pondok pesantren dan membantu memenuhi kebutuhan para pengajar. Tidak mustahil, nantinya akan bermunculan ma’had-ma’had yang tidak lagi memungut biaya bagi yang belajar di sana.
Termasuk kebaikan yang sangat besar adalah adanya orang yang mau mewakafkan hartanya untuk tempat tinggal para penuntut ilmu dan membiayai kebutuhan mereka sehingga lebih tekun dalam menuntut ilmu dan mengajarkannya. Demikian pula, adanya orang yang mengeluarkan hartanya untuk mencetak kitab-kitab dan mewakafkannya kepada para penuntut ilmu.
Sangat diharapkan juga adanya orang yang mewakafkan hartanya dan hasilnya disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan dana dari kalangan fakir miskin atau untuk membiayai pengobatan orang-orang yang tertimpa musibah dan yang semisalnya.
Begitu pula, diharapkan ada orang yang mewakafkan hartanya untuk membuat sumber air/sumur, jalan umum, sarana transportasi, permakaman, dan fasilitas umum lainnya.
Seandainya orang-orang yang memiliki kemampuan mau mewakafkan hartanya, dengan izin Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, semua ini akan menjadi suatu kebaikan dan manfaat yang besar bagi kaum muslimin, serta bagi berlangsungnya kegiatan dakwah, pendidikan. Hal ini juga akan membantu perekonomian masyarakat, di samping berbagai manfaat lainnya.

Syarat dan Rukun Wakaf

Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah menyebutkan dalam kitab beliau Raudhatuth Thalibin bahwa rukun wakaf ada empat, yaitu:
1. Al-waqif (orang yang mewakafkan),
2. Al-mauquf (harta yang diwakafkan),
3. Al-mauquf ‘alaih (pihak yang dituju dari wakaf tersebut), dan
4. Shighah (lafadz dari yang mewakafkan).
Adapun penjelasan dari keempat rukun tersebut sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab para ulama di antaranya adalah sebagai berikut.

Al-Waqif (Orang yang Mewakafkan)

Disyaratkan agar wakif adalah:
a. Orang yang berakal dan dewasa pemikirannya (rasyid).
Oleh karena itu, jika ada orang gila yang mengatakan, “Aku wakafkan rumahku”, wakafnya tidak sah.
b. Sudah berusia baligh dan bisa bertransaksi.
Jika ada anak kecil yang belum baligh meskipun sudah mumayyiz mengatakan, “Aku wakafkan rumahku untuk penuntut ilmu”, wakafnya tidak sah.
c. Orang yang merdeka (bukan budak).
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menyebutkan dalam Mulakhas Fiqhi, “Disyaratkan bagi orang yang wakaf, ia adalah orang yang transaksinya diterima (bisa menggunakan harta), yaitu dalam keadaan sudah baligh, merdeka, dan dewasa pemikirannya (rasyid). Maka dari itu, tidak sah wakaf yang dilakukan oleh anak yang masih kecil, orang yang idiot, dan budak.” (al-Mulakhash)
Asy-Syaikh al-‘Utsaimin t menegaskan, “Seandainya dia adalah seorang yang baligh, berakal namun dungu yaitu tidak bisa menggunakan hartanya (karena tidak normal berpikirnya), tidak sah wakafnya karena dia tidak bisa menggunakan hartanya. Oleh karena itu, sebagaimana tidak sah ketika dia menjual hartanya maka sedekah dia dengan hartanya lebih pantas untuk tidak diperbolehkan.” (asy-Syarhul Mumti’)

Wakaf Orang yang Terlilit Utang

Apakah disyaratkan orang yang wakaf adalah orang yang tidak terlilit utang yang bisa menyita seluruh hartanya?
Dalam hal ini ada khilaf di antara ulama. Asy-Syaikh al-‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan,“Yang benar dalam masalah ini, tidak sah sedekahnya, karena orang yang terlilit utang yang akan menyita seluruh hartanya adalah orang yang sedang tersibukkan dengan utang. Sementara itu, membayar utang hukumnya adalah wajib sedangkan bersedekah hukumnya adalah sunnah. Maka tidak mungkin kita menggugurkan yang wajib karena amalan yang sunnah.” (asy-Syarhul Mumti’)

Al-Mauquf (Harta yang Diwakafkan)

Berdasarkan jenis benda yang diwakafkan, maka wakaf terbagi menjadi tiga macam:
a. Wakaf berupa benda yang diam/tidak bergerak, seperti tanah, rumah, toko, dan semisalnya. Telah sepakat para ulama tentang disyariatkannya wakaf jenis ini.
b. Wakaf benda yang bisa dipindah/bergerak, seperti mobil, hewan, dan semisalnya. Termasuk dalil yang menunjukkan bolehnya wakaf jenis ini adalah hadits:
وَأَمَّا خَالِدٌ فَقَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Adapun Khalid maka dia telah mewakafkan baju besinya dan pedang (atau kuda)-nya di jalan Allah Ta’ala.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Rahimahullah berkata, “Hewan termasuk benda yang bisa dimanfaatkan. Kalau berupa hewan tunggangan maka bisa dinaiki dan kalau berupa hewan yang bisa diambil susunya maka bisa dimanfaatkan susunya.”
c. Wakaf berupa uang.
Tentang wakaf ini, asy-Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin t mengatakan, “Yang benar adalah boleh mewakafkan uang untuk dipinjamkan bagi yang membutuhkan. Tidak mengapa ini dilakukan dan tidak ada dalil yang melarang. Semua ini dalam rangka menyampaikan kebaikan untuk orang lain.” (Lihat Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 77, Taudhihul Ahkam, dan asy-Syarhul Mumti’)
Wakaf uang dengan maksud seperti ini juga disebutkan kebolehannya dalam Fatwa al-Lajnah ad-Daimah no. 1202.
Di antara hal yang juga harus diperhatikan dari harta yang akan diwakafkan adalah:
1. Harta tersebut telah diketahui dan ditentukan bendanya.
Sesuatu yang diwakafkan adalah sesuatu yang sudah jelas dan ditetapkan. Bukan sesuatu yang belum jelas bendanya, karena kalau demikian, tidak sah wakafnya. Misalnya, Anda mengatakan, “Saya wakafkan salah satu rumah saya.”
Wakaf seperti ini tidak sah karena rumah yang dia wakafkan belum ditentukan, kecuali kalau mewakafkan sesuatu yang belum ditentukan namun dari benda yang sama jenis dan keadaannya. Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah jika keadaan benda tersebut sama, wakafnya sah. Contohnya, seseorang memiliki dua rumah yang sama dari segala sisinya. Kemudian dia mengatakan, “Saya wakafkan salah satu rumah saya kepada fulan.” Yang demikian ini tidak mengapa….” (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
2. Benda tersebut adalah milik yang mewakafkan.
Tidak boleh mewakafkan harta yang sedang dijadikan jaminan/digadaikan kepada pihak lain. (Lihat Fatwa al-Lajnah ad-Daimah no. 17196)
3. Harta yang diwakafkan adalah benda yang bisa diperjualbelikan dan bisa terus dimanfaatkan dengan tetap masih ada wujud bendanya.
Hal ini bukan berarti harta yang telah diwakafkan boleh diperjualbelikan. Bahkan, para ulama dalam al-Lajnah ad-Daimah sebagaimana pada fatwa no. 8376, 19300, dan yang lainnya menyebutkan bahwasanya tidak diperbolehkan atau diharamkan menjual buku atau kitab yang diwakafkan. Seseorang yang mengambilnya harus memanfaatkannya atau dia berikan kepada orang yang akan memanfaatkannya. Tidak boleh baginya untuk menukarnya dengan uang atau buku lainnya kecuali kalau dengan buku lainnya yang juga telah diwakafkan.
Namun yang dimaksud dari poin yang ketiga ini adalah bahwa benda yang hendak diwakafkan adalah sesuatu yang jenisnya bisa diperjualbelikan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Adapun sesuatu yang tidak ada manfaatnya, tidak sah wakafnya, sebagaimana tidak sah untuk diperjualbelikan. Apa faedahnya dari sesuatu yang diwakafkan namun tidak ada manfaatnya? Seperti seseorang yang mewakafkan keledai yang sudah sangat tua. Maka wakaf tersebut tidak ada manfaatnya karena tidak bisa ditunggangi dan tidak bisa dimanfaatkan untuk membawa beban, bahkan akan merugikan karena harus memberi makan hewan tersebut….” (asy-Syarhul Mumti’)
Sebagian ulama menerangkan bahwa harta yang diwakafkan haruslah benda yang manfaatnya harus terus-menerus. Berdasarkan pendapat ini, jika harta yang diwakafkan berupa sesuatu yang manfaatnya terbatas waktunya, wakafnya tidak sah.
Misalnya, seseorang menyewa rumah untuk jangka waktu sepuluh tahun. Selanjutnya dia mewakafkan rumah tersebut pada seseorang. Dalam hal ini, wakafnya tidak sah karena manfaatnya tidak terus-menerus, tetapi hanya selama waktu sewa saja. Di sisi lain, rumah tersebut adalah rumah sewaan dan tidak dimiliki oleh yang menyewa. Jadi, si penyewa hanya memiliki manfaat dan tidak memiliki bendanya.
Di samping itu, sebagian ulama juga menerangkan bahwa harta yang tidak mungkin untuk dimanfaatkan melainkan dengan menghabiskan bendanya (seperti makanan, red.) maka tidak sah wakafnya. Di antara dalil yang disebutkan oleh para ulama tentang hal ini adalah hadits:
إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا
“Jika engkau mau, engkau tahan harta tersebut.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa wakaf tidak bisa melainkan untuk aset yang bisa ditahan bendanya.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah ketika menjelaskan tentang syarat sahnya wakaf, menyebutkan, “(Disyaratkan) agar aset/benda yang diwakafkan adalah sesuatu yang bisa dimanfaatkan dengan pemanfaatan yang terus-menerus dan tetap/masih ada bendanya. Karena itu, tidak sah wakaf dari harta yang akan lenyap setelah dimanfaatkan, seperti makanan….” (al-Mulakhas)

Al-Mauquf ‘alaih (Pihak yang Dituju/Dimaksud dari Wakaf)

Dipandang dari sisi pemanfaatannya, maka wakaf terbagi menjadi dua:
1. Wakaf yang sifatnya tertuju pada keluarga (individu).
Orang yang mewakafkan menginginkan agar manfaatnya diberikan kepada orang-orang yang dia ingin berbuat baik kepadanya dari kalangan kerabatnya. Tidak diragukan lagi bahwa wakaf ini termasuk kewajiban yang terkandung dalam keumuman ayat yang memerintahkan berbuat baik kepada kerabat.
2. Wakaf untuk amalan-amalan kebaikan.
Wakaf ini diarahkan untuk kemaslahatan masyarakat di suatu negeri. Inilah jenis wakaf yang paling banyak dilakukan, seperti untuk masjid, madrasah, dan semisalnya. (Lihat Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 77)
Pembagian wakaf di atas—wallahu a’lam—ditunjukkan dalam hadits:
فَتَصَدَّقَ بهَا عُمَرُ فِي الفُقَرَاءِ، وَفِي القُرْبَى، وَفِي الرِّقَابِ، وَفِي سَبيلِ اللهِ، وَابْنِ السَّبِيْلِ، وَالضَّيْفِ
“Maka bersedekahlah Umar dengannya (tanah di Khaibar) yang manfaatnya diperuntukkan kepada fakir miskin, kerabat, memerdekakan budak, jihad, musafir yang kehabisan bekal, dan tamu.” (HR. al-Bukhari-Muslim)
Perlu diketahui pula bahwa wakaf pada dasarnya dimaksudkan untuk berbuat kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, karena seorang yang mewakafkan hartanya menginginkannya sebagai amalan yang tidak ada hentinya setelah wafatnya. Orang yang mewakafkan hartanya tentunya menginginkan dirinya akan terus memperoleh pahala sampaipun telah meninggal dunia.
Dibangun di atas alasan ini, maka seseorang tidak diperbolehkan untuk mewakafkan sesuatu dalam perkara yang diharamkan. Misalnya, mewakafkan untuk sebagian anaknya saja dan tidak pada sebagian yang lainnya. Seperti mengatakan, “Harta ini saya wakafkan untuk anak laki-laki saya si fulan, atau untuk anak perempuan saya si fulanah tanpa untuk yang lainnya.”
Hal ini menunjukkan dia melebihkan salah satu anaknya dalam pemberian dari yang lainnya dan ini adalah perbuatan yang diharamkan. Sebagaimana telah dimaklumi, tidak mungkin untuk mendekatkan diri pada Allah l dengan perbuatan kemaksiatan. (Lihat Fatwa al-Lajnah no. 255, 17, 4412)
Asy-Syaikh as-Sa’di t berkata sebagaimana dinukil oleh penulis kitab Taudhihul Ahkam, “Disyaratkannya untuk kebaikan dan untuk mendekatkan diri kepada Allah l pada amalan wakaf menunjukkan bahwa wakaf untuk sebagian ahli waris tanpa untuk sebagian lainnya adalah haram dan tidak sah.”
Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata, “Wakaf yang berupa bangunan yang dikeramatkan, adalah harta yang tidak ada pemiliknya, maka diarahkan penggunaannya untuk kepentingan kaum muslimin. Hal ini karena wakaf tidak sah kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah l serta dalam bentuk ketaatan kepada Allah l dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, tidaklah sah wakaf untuk pembangunan tempat yang dikeramatkan. Begitu pula kuburan yang diberi lampu di atasnya, yang diagungkan, atau yang dituju dalam bernazar atau dalam menjalankan ibadah haji serta diibadahi selain Allah l dan dijadikan sesembahan selain Allah l. Ini semua adalah perkara yang tidak ada satu pun yang menyelisihinya dari kalangan para ulama dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka.” (Lihat Zadul Ma’ad jilid 3)

Termasuk Syarat yang Batil

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan Hafizhahullah berkata, “(Termasuk dari syarat sahnya wakaf adalah) agar wakaf tersebut untuk suatu kebaikan karena maksud dari wakaf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Misalnya, wakaf untuk masjid, jembatan, fakir miskin, sumber air, buku-buku agama, dan kerabat. Tidak sah wakaf untuk selain kebaikan, seperti wakaf untuk tempat-tempat ibadah orang kafir, buku-buku ahlul bid’ah, wakaf untuk kuburan yang dikeramatkan dengan memberi lampu di atasnya atau dengan diberi wewangian, atau wakaf untuk penjaganya, karena semua itu merupakan bentuk membantu kemaksiatan dan syirik, serta kekufuran.

Lafadz (Ikrar) untuk Mengungkapkan Wakaf

Adapun lafadz yang dengannya wakaf akan teranggap sah, para ulama membaginya menjadi dua bagian:
1. Lafadz yang sharih, yaitu lafadz yang dengan jelas menunjukkan wakaf dan tidak mengandung makna lain.
2. Lafadz kinayah, yaitu lafadz yang mengandung makna wakaf meskipun tidak secara langsung dan memiliki makna lainnya, namun dengan tanda-tanda yang mengiringinya menjadi bermakna wakaf.
Untuk lafadz yang pertama, maka cukup dengan diucapkannya akan berlaku hukum wakaf. Adapun lafadz yang kedua ketika diucapkan akan berlaku hukum wakaf jika diiringi dengan niat wakaf atau lafadz lain yang dengan jelas menunjukkan makna wakaf. (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
Para ulama telah sepakat bahwasanya yang harus ada adalah lafadz dari yang mewakafkan. Jadi, wakaf adalah akad yang sah dengan datang dari satu arah. Adapun lafadz penerimaan (qabul) dari yang dituju dari wakaf tersebut tidak menjadi rukunnya. (Lihat Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 77)
Sumber:
X Definisi/Arti WakafX Dasar Hukum WakafX Syarat & Rukun WakafX Pahala WakafX Keutamaan/Keistimewaan WakafX Kapan Seseorang Telah Teranggap Mewakafkan Hartanya?X keutamaanX pahala wakafX wakaf qur’anX wakaf tunaiX wakaf punya hutangX berhutang wakafX makalah wakafX pengertian wakafX macam macam wakafX dalil wakafX wakaf menurut islamX rukun wakaf
makalah wakaf,
pengertian wakaf,
macam macam wakaf,
dalil wakaf,
wakaf menurut islam,
rukun wakaf,
hukum wakaf,
uu wakaf,

Minggu, 26 Mei 2013

ENAM JENIS GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN

Tidak semua jenis ghibah dilarang dalam agama. Ada beberapa jenis ghibah yang diperbolehkan, yaitu yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang benar. 

Tujuan tersebut tidak mungkin tercapai kecuali dengan ghibah. Setidaknya ada enam jenis ghibah yang diperbolehkan, yaitu yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang benar, dan tidak mungkin tercapai kecuali dengan ghibah.

Pertama, melaporkan perbuatan aniaya. Orang yang teraniaya boleh melaporkan kepada hakim dengan mengatakan ia telah dianiaya oleh seseorang. Pada dasarnya ini adalah perbuatan ghibah, namun karena dimaksudkan untuk tujuan yang benar, maka hal ini diperbolehkan dalam agama.

Kedua, usaha untuk mengubah kemungkaran dan membantu seseorang keluar dari dari perbuatan maksiat, seperti mengutarakan kepada orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengubah kemungkaran. “Si Fulan telah berbuat tidak benar, cegahlah dia!” 

Maksudnya adalah meminta orang lain untuk mengubah kemungkaran. Jika tidak bermaksud demikian, maka ucapan tadi adalah ghibah yang diharamkan.

Ketiga, untuk tujuan meminta nasehat. Misalnya dengan mengucapkan , “Ayah saya telah berbuat begini kepada saya, apakah perbuatannya itu diperbolehkan? Bagaimana caranya agar saya tidak diperlakukan demikian lagi? Bagaimana cara mendapatkan hak saya?”

Ungkapan demikian ini diperbolehkan. Tapi lebih selamat bila ia mengutarakannya dengan ungkapan misalnya, “Bagaimana hukumnya bila ada seseorang yang berbuat begini kepada anaknya, apakah hal itu diperbolehkan?” Ungkapan semacam ini lebih selamat karena tidak menyebut orang tertentu.

Keempat, untuk memperingatkan atau menasehati kaum Muslimin. Contoh dalam hal ini adalah jarh (menyebut cela perawi hadits) yang dilakukan para ulama hadis. Hal ini diperbolehkan menurut ijmak ulama, bahkan menjadi wajib karena mengandung maslahat untuk umat Islam.

Kelima, bila seseorang berterus terang dengan menunjukkan kefasikan dan kebid’ahan, seperti minum arak, berjudi dan lain sebagainya, maka boleh menyebut seseorang tersebut dengan sifat yang dimaksudkan, namun ia tidak boleh menyebutkan aibnya untuk umat Islam.

Keenam, untuk memberi penjelasan dengan suatu sebutan yang telah masyhur pada diri seseorang.

Rabu, 22 Mei 2013

Menghina Kehormatan Orang Lain


Peradaban di dunia ini telah banyak menciptakan undang-undang yang bertujuan menjaga kehormatan seseorang. Tetapi semuanya masih belum mencapai tingkat kesempurnaan karena kurang teliti dalam menyelami seluk beluk jiwa manusia. Undang-undang tersebut kurang dapat menjaga kehormatan dan hak-hak manusia, tidak sebagaimana norma-norma etik yang telah disyariatkan agama Islam. 

Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri lagi, bahwa menjaga kehormatan ini adalah hal yang terpenting untuk menjaga kesatuan dalam tubuh masyarakat. Dan sebaliknya menghina kehormatan atau martabat orang lain akan bisa menimbulkan rasa saling membenci, perpecahan dan hilangnya rasa gotong-royong. Oleh karena itu, Islam menganggap bahwa setiap hal yang menyentuh kehormatan orang lain termasuk perbuatan dosa yang harus dijauhi oleh orang-orang yang beriman. Di antara hal-hal yang masuk dalam kategori menghina martabat orang lain ialah : menghina orang lain, menuduh dan memberi julukan yang dibenci olehnya, jelek sangkaan, mengintai dan membicarakan perihal orang lain di kala orang tersebut tidak ada. 

Semua dosa-dosa tersebut telah dituturkan oleh Al-Qur’an yang pada permulaannya mengingatkan bahwa orang-orang mukmin semuanya adalah bersaudara. Ikatan keimanan yang mempersatukan mereka sama saja dengan ikatan nasab kekeluargaan. Oleh karenanya, Islam melarang seseorang melukai kehormatan saudaranya, baik secara langsung ataupun tidak. Allah telah berfirman : 

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-seburuk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjingkan sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. 49 : 9 – 12). 

Ayat-ayat tadi, secara tegas dan gamblang melarang kaum muslimin berbuat dosa-dosa sebagai berikut : 

Menghina atau mengolok-olok 

Allah melarang suatu golongan mengolok-olok golongan lainnya. Perbuatan ini amatlah dicela karena timbul dari rasa kagum terhadap diri sendiri yang sekaligus menghina orang lain. Sifat ini akan dapat mengakibatkan hal-hal yang bisa menimbulkan permusuhan antara teman. 

Sesudah Al-Qur’an melarang kaum muslimin saling olok-mengolok antara sesama mereka, lalu Al-Qur’an dengan khusus menganjurkan kepada kaum wanita agar jangan berbuat seperti itu. Karena, pada dasarnya perbuatan saling olok-mengolok sering terjadi di kalangan kaum wanita. Pada permulaannya, larangan ini ditujukan kepada segenap warga masyarakat, tetapi yang terakhir khusus ditujukan kepada wanita mengingat hal yang telah kami sebut tadi. 

Al-Qur’an Al-Karim menjelaskan maslaah olok-mengolok ini yang pada prinsipnya ialah menghina kehormatan orang lain. Bagaimana bisa terjadi masalah olok-mengolok ini antara sesama kaum muslimin? Padahal belum tentu yang dihina itu kadang-kadang lebih utama dan lebih mulia di sisi Allah dibanding orang yang menghina itu sendiri. 

Norma-norma yang dipakai oleh kalangan lelaki dan kalangan wanita, pada hakekatnya adalah serupa dengan fatamorgana yang sering menipu pandangan mata atau orang-orang yang berpikiran dangkal. Bisa saja terjadi orang yang cantik menghina orang yang jelek, yang kaya menghina yang miskin dan yang muda menghina yang tua, tetapi norma-norma semacam ini bukanlah hakikat yang sebenarnya. Selain dari itu norma-norma tersebut bukanlah indikasi bagi ukuran terhormat atau tidaknya seseorang. Adapun norma-norma yang sebenarnya dan yang dijadikan indikasi dalam merendahkan dan meninggikan derajat seseorang adalah norma-norma yang ada dalam jiwa seseorang, dan takkan bisa dilihat kecuali oleh Allah SWT.

Mencela orang lain

Allah SWT, melarang kaum mukminin saling cela-mencela antara sesama mereka. Hal itu dinyatakan oleh-Nya setelah mengawali ayat bahwa mereka adalah saudara. Apabila seseorang mencela saudaranya, berarti ia mencela dirinya sendiri. Demikianlah apa yang dimaksud oleh firman Allah : “Janganlah kamu mencela dirimu sendiri”, sengaja dalam ungkapan ini Allah memakai gaya bahasa yang halus agar dapat dirasakan oleh kaum muslimin, dan agar mereka mau menyadari bahwa antara sesama muslim adalah saudara. Antara saudara harus bersatu dan saling menjaga kehormatan masing-masing, dan harus mawas diri terhadap segala upaya yang menghendaki perpecahan. 

Perbuatan mencela orang lain sudah merupakan ciri khas zaman sekarang. Anda tentu pernah membaca di beberapa surat kabar, seorang tokoh politik mencela tokoh lainnya dan semua orang-orang yang mendukungnya. Tiada lain, maksud yang terkandung dalam hatinya ialah ingin memperoleh ketenaran dengan menjelek-jelekkan orang lain. Dan ada sebagian orang lagi menggunakan “sarana” mencela orang lain hanyalah untuk melampiaskan rasa dendamnya yang sudah mematri dalam hatinya terhadap orang yang dicela. 

Demikianlah kenyataannya sekarang, perbuatan mencela orang lain merupakan penyakit masyarakat yang sudah membudaya. Orang-orang banyak yang melakukan perbuatan itu, mereka tak pernah menggubris larangan Allah terhadap perbuatan yang berdosa ini. 

Selain itu Allah melarang kaum muslimin menggunakan nama-nama julukan dalam panggil-memanggil antara sesama mereka. 

Terlebih lagi jika julukan itu tidak disukai oleh orang yang bersangkutan. Barang siapa yang melakukan hal-hal tersebut, dianggap oleh Allah sebagai orang fasik. Orang fasik ialah orang yang tidak taat kepada Allah. Seseorang yang benar-benar beriman akan merasa jijik apabila dirinya dinamakan fasik sesudah ia beriman kepada Allah. Setelah itu Allah mengakhiri isi ayat dengan firman-Nya : 

“Barang siapa yang tidak mau bertaubat, mereka itulah orang-orang yang zalim”. Dan balasan bagi orang-orang yang berbuat zalim ialah siksa Allah di dunia maupun di akhirat. 

Jelek prasangka (Prasangka Buruk)

Allah memerintahkan agar kaum muslimin menjauhi sangkaan-sangkaan yang jelek. Seorang yang beriman janganlah membiarkan dirinya menjadi ladang yang subur bagi bibit-bibit dan tunas-tunas yang bisa menumbuhkan rasa jelek prasangka terhadap orang lain. Untuk itu Al-Qur’an memberikan penjelasannya mengenai hal ini : 

“Sesungguhnya sebagian dari sangkaan itu berdosa”. Ulasan Al-Qur’an ini memberikan isyarat pada kita agar menjauhkan prasangka yang jelek. Sehingga seseorang yang belum merasa jelas jenis prasangka mana yang bisa mengakibatkan dosa, dapat mengerti. 

Dengan dicanangkannya peraturan ini, berarti Islam menghendaki agar jiwa seorang mukmin bersih dari jelek prasangka. Karena buruk prasangka ini adalah suatu hal yang dapat mengakibatkan seseorang terjerumus ke dalam perbuatan yang berdosa. 

Mencari-cari kesalahan orang lain 

Allah juga melarang orang-orang mukmin melakukan hal ini. Karena perbuatan ini merupakan rentetan dari jelek prasangka. Tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain) adalah suatu perbuatan yang didorong oleh rasa ingin tahu aib orang lain. Oleh karenanya, Al-Qur’an melarang perbuatan ini. Setiap orang memiliki kebebasannya masing-masing dan memiliki kehormatannya yang tak boleh diganggu dalam kondisi apapun. Kita boleh menilai seseorang dari apa yang kita lihat lahirnya saja. 

Adapun masalah batin kita tidak boleh diganggugugat, karena itu adalah kehormatan pribadinya. Dan kita tidak diperbolehkan pula menghukum seseorang, kecuali hanya apabila ia melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ada, dan jelas bukti-buktinya disaksikan secara lahiriyah oleh orang banyak. 

Adapun perihal yang dilakukan oleh pemerintah tentang menyebarkan mata-mata guna mendeteksi gerak-gerik orang yang suka merusak, maka perbuatan ini bukanlah termasuk dari sesuatu yang dilarang oleh Allah. 

Karena tidak sekali-kali pemerintah melakukan hal ini hanyalah karena untuk menolak jangan sampai terjadi kerusakan atau kerusuhan. Dan manfaatnya tentu saja akan dirasakan oleh seluruh masyarakat. Hal ini diperbolehkan selagi masih berada dalam batas-batas yang menghargai kehormatan rakyat. 

Mengumpat 

Dan yang terakhir, Allah melarang kaum mukminin melakukan pekerjaan mengumpat. 

Pengertian mengumpat ialah, seseorang menuturkan sesuatu yang kurang disenangi yang berkaitan dengan pribadi temannya. Penuturannya itu bisa secara blak-blakan ataupun secara sindiran; baik yang dituturkannya itu bertalian dengan masalah agamanya atau kepribadiannya, semuanya sama saja. Perlu diperhatikan, pengertian mengumpat bukan saja ketika orang yang bersangkutan tidak ada, tetapi bisa juga ketika ia berada di depan orang yang membicarakannya. Hal ini pun masuk dalam pengertian mengumpat. 

Rasulullah dalam menanggapi masalah mengumpat ini memberikan penjelasan dalam salah satu sabdanya :

 اتدرون ما الغيبة؟ قالوا : الله ورسوله أعلم, قال : ذكرك أخاك بما يكره, قيل : افرايت لوكان فى اخى ما أقول, قال ان كان فيه ما تقول فقد اغتبته, وان لم يكن فيه ما تقول بهته اى قلت فيه كذبا وبهتانا 

“Apakah kamu tahu artinya ghibah (mengumpat)?”. Para sahabat menjawab : “Allah dan Rasul lebih mengetahui hal itu.” Kemudian Nabi SAW bersabda : “Engkau menuturkan perihal saudaramu yang tidak ia senangi”. Salah seorang sahabat menanyakan : “Barangsiapa jika yang kututurkan mengenai saudaraku itu benar-benar?”. Beliau menjawab : “Apabila apa yang kau tuturkanitubenar, berarti engkau telah membicarakannya (mengumpatnya), dan apabila apa yang kau tuturkan itu sebaliknya, maka engkau telah berkata bohong mengenai dirinya.( Hadits riwayat Muslim, Abu Daud, Turmudzi dan An Nasa’i)” 

Selain itu Al-Qur’an memberikan perumpamaan kepada kita mengenai perbuatan mengumpat ini. Perumpamaannya sama saja dengan memakan daging saudara yang sudah mati. Untuk itu Allah telah berfirman : “Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”. (QS. 49 : 12). 

Adapun perihal orang-orang yang terang-terangan berbuat syirik atau orang-orang yang mendekati perbuatan maksiat, maka membicarakannya tidak dilarang oleh agama, apabila berniat untuk menegurnya dan menyadarkannya. 

Perbuatan mengumpat adalah perbuatan yang paling jelek dan dapat mengeruhkan keintiman persahabatan. Karena rasa persahabatan ini hanya bisa dipupuk dengan saling mempercayai yang timbul dari hati yang ikhlas, kemudian dipraktekkan dalam bentuk saling menghormati, bermuka ramah dan berkata jujur. Adapun perbuatan mengatakan perihal orang lain sewaktu ia tidak ada dan perkataannya itu menyinggung kehormatannya, maka hal ini akan dapat mengeruhkan keintiman persahabatan. 

Kemudian Allah mengakhiri ayat yang menuturkan hal ini dengan firman-Nya : “Bertakwalah kamu kepada Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”. (QS. 49 : 12). 

Ayat tersebut memberi pengertian bahwa siapa saja yang takut kepada Allah kemudian meninggalkan apa yang telah dilarang-Nya dan berjanji tidak mau melakukannya lagi, maka pintu taubat masih terbuka untuk mereka. 

Dengan demikian maka jelaslah bagi kita betapa pentingnya peranan Islam dalam mendidik kaum muslimin agar berakhlak yang luhur, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela tadi. Islam menghendaki agar kaum muslimin berada dalam naungan persaudaraan yang dipenuhi dengan rasa kasih sayang dan saling mempercayai antara sesama mereka.

Jumat, 17 Mei 2013

Hikmah Sakit

Hikmah Sakit - Hikmah Sakit Sakit adalah sesuatu hal yang pastinya kita akan mengalaminya.Baik itu waktu kita masih kecil, kanak-kanak sampai dewasa seperti sekarang ini, atau nanti saat kematian hendak menjemput kita. Hal yang seringkali membuat kita baru merasakan betapa nikmat sehat adalah di kala kita mengalami apa yang dinamakan dengan sakit itu sendiri. Hidup kita ini tidak terlepas dari cobaan serta ujian, bahkan cobaan dan ujian dalam hal ini sakit merupakan sunatullah dalam kehidupan. Manusia akan diuji dalam kehidupannya baik dengan perkara yang tidak disukainya atau bisa pula pada perkara yang menyenangkannya bagi dirinya. 


Bagi manusia yang serba mempunyai kekurangan ini bersyukur tatkala mendapatkan kebaikan serta kesenangan adalah sesuatu hal yang lebih mudah untuk kita lakukan. Akan tetapi kebalikannya, bersabar ketika mendapatkan musibah atau sakit ini adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan. Hal itulah yang akan membedakan tingkat keimanan seseorang. Semakin besar ujian yang diterima dan dia dapat bersabar maka semakin tinggi pula derajat seseorang. 
Beberapa hikmah sakit / penyakit yang dapat kita maknai dengan hati yaitu diantaranya :
  1. Ketika tubuh kita sakit, maka pada dasarnya tubuh kita sejenak dari aktifitas yang terus-menerus dalam menopang kehidupan kita.Jantung dengan fungsinya memompa, otak kita yang berfungsi berpikir, badan yang menjalankan aktifitas sehari-hari.Maka ketika seseorang sakit, ia memperoleh kesempatan untuk beristirahat, sambil melakukan introspeksi dan berpikir untuk memperbaiki pola hidupnya setelah ia sembuh nanti.
  2. Sakit juga bisa merupakan media pendidikan bagi kita bahwasannya nikmat sehat yang Allah limpahkan kepada kita begmakan nasi dan juga lauk secukupnya akan sangat merasakan kelezatannya bila ditambahi dengan rasa itu mahalnya.Dengan kita sakit, makan makanan yang nikmat dan lezat saja terasa hambar. Padahal ketika sehat, syukur kita.Hal lainnya adalah ketika seseorang tersebut sakit, maka ia akan memahami betapa mahalnya nilai kesehatan. Karena sakitnya itu, ia pun rela mengeluarkan segala yang ia miliki demi memperoleh kesembuhan dari penyakit yang dideritanya.
  3. Sakit bisa merupakan sebuah teguran atas kesombongan manusia. Ketika dalam keadaan sehat, manusia seringkali bertingkah seolah-olah dialah yang paling gagah, paling berkuasa dan paling berpengaruh. Tapi ketika sakit datang menyapanya, segagah apapun menusia itu, sebesar apapun manusia dan sebesar apapun pengaruh dia dalam masyarakat atau di tempat kerjanya, ia tidak dapat beranjak dari tempat tidurnya. Ketika itu, ia tidak lebih dari tulang dan darah yang dibungkus kulit.Itulah hikmah sakit yang bisa dirasakan kita.Seorang direktur perusahaan sebesar apapun maka dalam pelayanan di rumah sakit tentunya akan diobati oleh dokter dan dirawat oleh kita para perawat.
  4. Sakit bisa merupakan kesempatan kita dalam hal bertaubat dan juga bisa menghapus dosa. Hal ini bukan hanya dilakukan oleh yang soleh, orang sejahat apapun ketika sakit parah tak boleh berbuat apa-apa. Tangannya tidak ringan lagi. Mulutnya tak mampu berkata seenaknya sendiri lagi. Yang ada hanyalah penyesalan. Jadi teringat dalam forum pengajian bahwasannya pengertian penyakit yang diderita seorang hamba menjadi sebab diampuninya dosa yang telah dilakukan termasuk dosa-dosa setiap anggota tubuh.Rasulullah shallallahu alaihi wa saalm bersabda :""Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengannya dosa-dosanya."(HR. Muslim).
  5. Hikmah sakit yang lainnya akan membuat kita merasa benar-benar makhluk yang lemah, tidak berdaya sehingga kita akan bersungguh-sungguh memohon perlindungan kepada Allah Ta'ala, Dzat yang mungkin telah kita lalaikan selama ini. Kepasrahan ini pula yang menuntun kita untuk bertobat atas segala dosa dan kesalahan-kesalahan yang telah banyak kita lakukan.
  6. Hikmah dibalik sakit yang lainnya adalah bahwa bila kita bersabar dalam menjalani sakit dan penyakit maka kata pak Ustadz hal tersebut akan mendapatkan pahala dan ditulis untuknya bermacam-macam kebaikan dan ditinggikan derajat bagi dirinya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :"Tiadalah tertusuk duri atau benda yang lebih kecil dari itu pada seorang muslim, kecuali akan ditetapkan untuknya satu derajat dan dihapuskan untuknya satu kesalahan."(HR. Muslim )
Demikian tadi hikmah di balik sakit bagi kita yang sedang diberikan cobaan dengan sakit atau pun penyakit. Untuk lebih lengkapnya kawan-kawan bisa menuju ke link berikut ini : Sakit Dan Hikmah Dibaliknya

Kamis, 16 Mei 2013

Shalat Tahajud Meningkatkan Kekebalan Tubuh dan Mengusir Penyakit


shalatShalat khususnya tahajjud ternyata tidak hanya membuat pelakunya mendapatkan tempat istimewa di hadapan Pencipta Alam ini, melainkan juga meningkatkan kekebalan tubuh dan mengusir penyakit.
Pernahkah Anda berpikir kenapa setiap hari kita mesti berdoa? Mungkin ada yang manjawab ini adalah kewajiban kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Ada juga yang menjawab ini sudah tersurat dalam kitab suci. Dan masih banyak lagi rasionalisasi yang bila dikaji bunyinya terdengar, bahwa berdoa hanyalah kewajiban.
Namun, semua yang kita anggap sebagai tanggung jawab, juga kewajiban ternyata memiliki pengaruh positif buat hidup kita sendiri. Anda mungkin tidak sadar kalau kepatuhan-kepatuhan kita terhadap ritual keagamaan semisal shalat serta bentuk ritual lainnya memiliki pengaruh bagi meningkatnya sistem kekebalan tubuh kita.
Ambil contoh misalnya shalat tahajjud. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh dosen fakultas tarbiyah dan guru besar program pascasarjana dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. Mohammad Sholeh, Drs., M.Pd., PNI membuktikan bahwa shalat tahajjud yang dijalankan dengan gerakan tepat, rutin, dan tentu saja dengan tulus iklhas bisa meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
Prof. Sholeh ng menyebutkan, bahwa penelitian yang dilakukannya tahun 2000 selama satu semester ini dalam rangka menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Airlangga, Surabaya. “Jadi ini demi sebuah desertasi ,” jelas bapak dua anak ini.
Sholeh memilih desertasinya dengan judul Pengaruh Shalat Tahajjud Terhadap Peningkatan Perubahan Respon Ketahanan Tubuh Imunologik: Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi
Teliti 51 Siswa SMU
Bagi kaum muslim, shalat tahajjud bukanlah sembahyang wajib. Karenanya tidak banyak yang melakukan sembahyang ini sampai berhari-hari dan terus menerus. Dalam riwayat Abu Daud dan At Turmudzy diceritakan, Ali r.a pernah berkata: “Shalat witir itu tidak diharuskan sebagaimana shalat fardhu, tetapi Rasulullah saw selalu mengerjakannya serta bersabda: “Sesungguhnya Allah itu witir (ganjil,yakni esa) dan suka pada witir maka shalat witirlah kamu sekalian wahai Ahlul Qur’an”
Kebiasaan melakukan sembahyang ini bermula ketika menjelang kenabian Nabi Muhammad SAW. Waktu itu sang Nabi sedang gundah gulana. Sebagai seorang yang saleh dan berhati bersih, pria tengah baya ini merasakan betapa mundurnya kehidupan moral di Mekah waktu itu.
Perbudakan, perampokan, penindasan terhadap wanita, dan segala keburukan lain membuat hidup menjadi tidak menyenangkan. Mau apa, aku ini? Itulah pertanyaan yang muncul darinya.
Maka, di suatu malam, Muhammad menyendiri dan merenungkan semua hal yang menimpa dirinya dan tanah kelahirannya. Tengah malam sampai menjelang pagi, Muhammad merasakan benar-benar kesedihan yang mendalam sekaligus berpasrah pada Sang Pencipta mau diapakan dirinya dan tempat kelahirannnya.
Saat itulah, kemudian muncul pesan dari malaikat Jibril yang sampai sekarang dikenal sebagai wahyu pertama dalam kitabsuci Al quran. Lalu di malam-malam selanjutnya, Nabi sering melakukan kegiatan menyendiri ini sebagai sebuah kegiatan yang intinya mau mengatakan bahwa beliau hanyalah manusia biasa. Tiada yang dapat dilakukannya kecuali hanya karena pertolongan dari Allah.
Kegiatan menyendiri yang diberi bentuk shalat di kemudian hari ini lalu biasa dilakukan oleh para pengikut Nabi tatkala mengalami berbagai persoalan yang dirasa berat untuk ditanggung.
Namun selama waktu itu, sejak kebiasaan sholat muncul sampai satu decade terakhir ini, tidak banyak yang tahu bahkan kaum muslim sekalipun, apa sebenarnya yang terjadi ketika mereka melakukan shalat tahajjud. Memang banyak ulama menyebutkan kalau shalat bisa memperbaiki akhlak. Tapi, bagaimanakah semua itu berlangsung?
Inilah yang mendorong Prof. Sholeh melakukan penelitian mengenai shalat tahajjud. Pria jebolan Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri ini di tahun 2000 meneliti sekitar 51 siswa SMU Luqman Hakim Pondok Pesantren Hidayatullah, Surabaya.
”Saya minta mereka semua melakukan shalat tahajjud selama dua bulan penuh setiap hari,” jelas pria yang menyelesaikan S2 pada bidang psikologi konseling di IKIP Malang. Dengan mengambil jumlah rakaat yang tidak terlalu banyak juga tidak sedikit, 2 rakaat salam empat kali serta witr tiga rakaat atau satu rakaat (total 8 rakaat), mereka mesti menjalankannya shalat pada jam 02.00 sampai 3.30.Tentu tidak semua berhasil. 51 siswa yang diteliti ini akan dipilah lagi.
“Mereka yang tidak pernah mengikuti senam pernapasan, komplit shalatnya sampai dua bulan, tidak pernah ikut toriqoh (zikir), dan tidak pernah melakukan tahajjud akan saya masukkan dalam kelompok sendiri untuk dilihat lebih lanjut hasilnya,” ungkap Sholeh.
Ternyata dari 51 siswa, 23 orang hanya sanggup bertahan menjalankan shalat tahajjud selama sebulan. Beserta yang lainnya yang tidak memenuhi syarat dengan alasan misalnya shalatnya tidak lengkap sampai dua bulan meski bisa melampaui sebulan penuh atau tidak sampai sebulan, minum obat kortikisteroid, melakukan hal-hal lain selain tahajjud yang mempengaruhi sistem tubuh misalnya zikir, ke-23 siswa ini dijadikan kelompok sendiri.
Sampai akhirnya, tinggal 19 siswa saja yang sanggup bertahan melakukan shalat tahjjud selama dua bulan. Jadi ada dua kelompok. Mereka yang berhasil sampai dua bulan tanpa tambahan kegiatan lain dan mereka yang tidak selesai shalat sampai dua bulan.
Kesembilan belas orang ini menurut Sholeh mengalami perubahan secara mendasar. “Mereka ini yang menjalani shalat dengan tulus ikhlas, penuh dua bulan, gerakannya tepat, kekebalan tubuhnya meningkat,” jelas Sholeh. Sementara yang tidak, perubahan secara berarti dari segi fisik maupun psikis tidak terlihat. Meningkatnya kekebalan tubuh inilah yang memungkinkan seseorang akan sulit kena penyakit dari yang sekedar infeksi sampai kanker.
Setidaknya ada beberapa parametes yang diukur Sholeh di tiga laboratorium (Klinika, Prodia, dan Paramita) di Surabaya untuk membuat kesimpulan ini. Dengan mengukur kadar hormon kortisol (glukokortikoid alami utama yang dikeluarkn korteks adrenal. Zat ini memengaruhi metabolisme glukosa, protein dan lemak) bisa diketahui apakah seseorang mengalami stress atau tidak.
Pada mereka yang berhasil melakukan shalat tahajjud sampai dua bulan hormon ini menaik. “Ini pertanda orang tersebut ikhlas dan tidak stress,” ungkap Sholeh.
Meningkatnya hormon ini akan disertai dengan meningkatnya kandungan serotonin, epinefrin dan endorfin. Hormon-hormon ini adalah hormon yang membuat kita menjadi tenang dan merasa tenteram.
Sebaliknya, tingkat acetylcholine pada kesembilan belas orang ini menurun. Acetylcholine adalah ester asam asetat dari kolin yang berfungsi sebagai neurotransmitter atau bahan kimia yang berfungsi menyampaikan pesan dari sel saraf yang satu ke sel saraf yang lain.
“Bila bahan kimia ini meningkat, itu tandanya orang lagi stress. Akibat lanjutannya orang akan mudah marah, cemas, dan khawatir,” jelas Sholeh. Stress juga ditandai bila kandungan vasopressin atau hormon yang dikeluarkan oleh hipotalamus (bagian otak) meningkat.
“Bila tingkat vasopressin ini tinggi dan menumpuk terus menerus, daya tahan tubuh orang akan menurun. Orang akan mudah kena kanker. “Dengan sendirinya berbagai sistem imun yang ada di tubuh seperti makrofag, basofil, monosit, dan lainnya tidak akan terproduksi.
Jadi, sekarang ini kalau orang bicara bahwa shalat bisa memperbaiki tingkat moral seseorang, ada alasan yang bisa dikemukakan dengan sangat masuk akal. Dengan shalat yang benar, dijalani tulus dan pasrah, serta rutin akan membuat fisik maupun psikis seseorang sehat. Ketenangan hati, pikiran, dan ketentraman jiwa akan menjadi status dasar mereka yang rajin shalat. Orang bisa berpikir logis, matang, dan benar-benar masuk akal. Orang menjadi tahu diri dan tidak seenaknya.
Selain itu, penyakit fisik akan enggan mampir dan mengidap ke tubuh mereka yang rajin shalat. Karena sistem kekebalan tubuhnya meningkat pesat.
“Dirikanlah shalat dari condong matahari sampai gelap malam dan Quran fajar (shalat subuh), sesungguhnya Quran fajar itu dipersaksikan. Pada malam hari hendaklah engkau bertahajjud sebagai tambahan untuk engkau, mudah-mudahan Maha Pemeliharamu mengangkat engkau ke tempat yang terpuji” (Al Quran surat Al Israa’ ke-17 ayat 78-79).
Jadi, shalat ternyata tak hanya membuat seseorang yang melakukannya mendapatkan tempat (maqam) terpuji di sisi Allah, melainkan juga membuat sehat lahir batin.

Sumber : kompas.co.id

Sabtu, 11 Mei 2013

Hukum Waris Dalam Islam


Pada zaman jahiliyah sebab – sebab seseorang memperoleh harta warisan telah memiliki aturan, diantaranya sebagai berikut:
  1. Sebab keturunan, pada saat itu pada keturunan yang ditentukan yakni pada laki-laki yang kuat berperang saja sedangkan wanita dan anak-anak tidak memiliki hak mendapatkan warisan. Setelah islam diturunkan aturan tersebut di larang oleh allah alam surat an-nisa ayat 7,yang artinya “ untuk anak laki-laki sebagian daripada harta yang ditinggalkan oleh ibi bapak dan keluarga dekat, dan untuk perempuan sebagian dari pada harta yang ditinggalkan oleh ibu-bapak dan keluarga dekat, baik sedikit ataupun banyak harta yang dipusakai itu, tetap masing-masing mendapat bagian yang tertentu menurut ketentuan yang telah ditentukan dalam kitab suci al-qur’an surat  An-Nisa:7
  2. Anak angkat, saat itu anak angkat berhak atas harta yang ditinggalkan oleh ibu dan bapak angkatnya. Karena mereka diakui mutlak sebagaimana anak kandung. Hal ini kemudian dilarang oleh allah  melalui firmannya “ allah tidak membenarkan anaka angkat kamu itu menjadi anak yang sebenarnya, demikian hanya perkataan yang di mulut kamu saja, tidak dengan sebenarnya. Yang berkata benar ialah allah dan Dia-lah yang member petunjuk kepada jalan yang lurus “ Al-Ahzab : 4
  3. Dengan sebab perjanjian / sumpah. Keadaan ini dimisalkan dua orang yang berjanji dengan sumpah bahwa antara keduanya akan pusaka-mempusakai. Hal ini kemudian dilarang oleh allah.
B.Sebab Yang Diperbolehkan Untuk Pusaka Mempusakai
Dalam ajaran agama Islam, sebab – sebab pusaka mempusakai terdiri atas 4 sebab :
  1. Kekeluargaan, sebagai mana telah dijelaskan dalam surat an-nisa ayat 7 diatas, dengan syarat dan ketentuan yang diperjelas melalui ayat lain.
  2. Perkawinan.(penjelasan khusus).
  3. Dengan sebab memerdekakan dari perbudakan. Sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW  “ Hubungan orang yang memerdekakan hamba dengan hamba itu seperti hubungan turunan dengan turunan tidak dijual dan tidak diberikan “ HR Ibnu Khuzaifah, Ibnu hibban dan Hakim.
  4. Hubungan islam. Bila orang yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris yang ditentukan, maka harta peninggalanya diserahkan ke baitulmall untuk umat islam dengan jalan pusaka. Sabda Rosulluah SAW: “saya menjadi waris orang yang tidak mempunyai ahli waris” HR Ahmad dan Abu daud. Dalam hal ini rosullullah tidak menerima harta tersebut untuk dirinya sendiri, tapi dipergunakan untuk kemaslahatan seluruh umat islam.
C.Siapa Saja Yang Dimaksud  Dengan Ahli Waris .
Dalam agama islam orang yang boleh mendapat pusaka dari yang meninggal dunia ada 25 orang, 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan :
-       Penerima harta waris dari pihak laki-laki.
  1. Anak laki-laki dari yang meninggal dunia.
  2. Anak laki-laki dari cucu laki-laki yang berasal dari pihak anak laki-laki dan terus kebawah, asalkan pertaliannya masih laki-laki.
  3. Orang tua laki-laki (bapak) dari yang meninggal.
  4. Kakek dari pihak bapak dan terus ke atas pertalian yang belum terputus dari pihak bapak.
  5. Saudara laki-laki seibu sebapak.
  6. Saudara laki –laki yang seibu saja.
  7. Saudara laki-laki yang sebapak saja.
  8. Anak laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang seibu sebapak.
  9. Anak laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang sebapak saja.
10. Saudara laki-laki dari bapak (paman) dari bapak yang seibu sebapak.
11. Saudara laki- laki dari bapak (paman) yang sebapak saja.
12. Anak laki-laki dari saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu sebapak.
13. Anak laki-laki dari saudara bapak yang laki-laki (paman) yang sebapak saja.
14. Suami.
15. Laki-laki yang mmerdekakan mayat.
Jika dari 15 orang ini masih ada semua, maka yang lebih berhak untuk mendapatkan harta pusaka dari yang meningal hanya 3 orang saja, yakni:
  1. Bapak
  2. Anak laki-laki
  3. Suami
-       Penerima harta waris dari pihak perempuan.
  1. Anak perempuan.
  2. Anak perempuan dari anak laki-laki ( cucu perempuan) dan seterusnya kebawah, asalkan pertaliannya dengan yang meninggal masih terus laki –laki.
  3. Ibu.
  4. Ibu dari bapak.
  5. Ibu dari ibu (nenek) terus keatas pihak ibu sebelum terhalang laki-laki.
  6. Saudara perempuan yang seibu sebapak.
  7. Saudara perempuan yang yang sebapak.
  8. Saudara perempuan yang sebapak.
  9. Isteri.
10. Perempuan yang mmerdekakan si mayat.
Jika 10 orang tersebut diatas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi hanya 5 orang saja, yaitu:
  1. Isteri.
  2. Anak perempuan.
  3. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan).
  4. Ibu.
  5. Saudara perempuan yang seibu sebapak.
Seandainya ke-25 orang yang tersebut diatas baik dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan masih lengkap, maka yang paling berhak mendapatkan hak waris hanya salah seorang dari laki isteri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.
Lalu bagaimana dengan anak yang masih dalam kandungan?
Anak yang masih dalam kandungan ibunya pun berhak mendapat hak waris dari keluarganya yang meninggal dunia. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW “ apabila menangis anak yang baru lahir ia mendapat pusaka” HR Abu Dawud.
D.Sebab Seseorang Tidak Mendapatkan Hak Waris/Pusaka.
Ada beberapa sebab yang mejadikan seseorang itu tidak mendapat hak harta waris/pusaka dari yang meningal dunia.
1.Hamba / Budak. Seseorang yang dijadikan budak/hamba sahaya/pembantu, tidak mempunyai hak waris ataupun pusaka dari majikannya ataupun keluarganya. Firman Allah SWT “Abdan mamluukan laa yaqdiru ‘alaa syaiin” QS An-Nahl : 75.
Artinya : : Hamba yang dimiliki tidak mempunyai kekuasaan atas sesuatu apapun juga” (An-Nahl : 75)
2. Pembunuh. Orang yang membunuh kluarganya tidak berhak untuk mempusakai/mewarisi harta peninggalan dari keluarganya yang dibunuh.
Sabda Rosullullah Muhammad SAW : “ Yang membunuh tidak mewarisi dari yang dibunuhnya “ ( HR : Nasa’i).
3.Murtad atau telah keluar dari agama Islam/ berpindah agama. Orang yang telah keluar / berpindah dari keyakinan agama islam, tidak berhak atas harta peninggalan keluarganya yang masih memeluk agama islam. Sebaliknya juga, orang yang memeluk islam tidak dapat menerima waris/pusaka dari keluarganya yang telah murtad.
Sabda Nabi Muhammad SAW :  Diriwayatkan dari abu bardah, ia berkata “ Saya telah diutus oleh Rosullullah saw kepada seorang laki-laki yang menikah dengan istri bapaknya. Nabi menyuruh supaya saya bunuh laki-laki tersebut dan membagi hartanya sebagai harta rampasan, sedang laki-laki tersebut murtad”
4.Orang yang tidak beragama islam (kafir). Orang kafir tidak berhak menerima pusaka dari keluarganya yang memeluk agama islam. Demikian pula sebaliknya, orang islam tidak berhak menerima pusaka dari keluarganya yang tidak beragama islam.
Sabda Nabi Muhamad saw : “Laa yaritsu almuslimu alkaafiru walaa alkaafiru al muslima “.
Artinya: “ Tidak mewarisi orang islam akan orang yang bukan islam, demikian pula yang bukan islam tidak pula mewarisi akan orang islam “.(HR. Mutafaqun alaih.)<<>>