Al-'Ashr

<a href="http://www.clock4blog.eu">clock for blog</a>
Free clock for your blog

Sabtu, 27 April 2013

Sutrah (Pembatas) Ketika Shalat dan Pembahasannya





Para Ulama yang mewajibkan Sutrah
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)
dakwatuna.com – Bagi kelompok ini, hadits-hadits yang memerintahkan memasang pembatas menunjukkan kewajibannya, sebab hukum asal dari perintah adalah menunjukkan wajib selama belum ada dalil lain yang membelokkan kewajiban tersebut.
Pihak yang mengatakan sutrah adalah wajib, telah menafsirkan bahwa makna ucapan Nabi “ ’Ala Ghairi Jidar (Tidak menghadap dinding)” bukan berarti tanpa sutrah. Menurut mereka sutrah ada tetapi bukan dinding (ghairu jidar), melainkan tombak. Lantaran dalam riwayat shahih yang lain disebutkan bahwa Nabi membawa tombak ketika shalat menuju lapangan lalu menjadikannya sebagai sutrah. Apa yang dipahami mereka ini tentu harus ditunjukkan oleh dalil, bahwa hadits tentang ‘tombak’ yang memberikan rincian terhadap hadits ‘Ala Ghairi Jidal, wajib ditinjau kembali secara dirayah (pemahamannya). Benarkah hadits tombak itu menjadi perinci dan penjelas bagi hadits ‘Ala ghairi jidar?
Yang benar adalah keduanya merupakan hal yang terpisah dan merupakan dua peristiwa yang berbeda. Dengan kata lain, Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pernah shalat menghadap tombak, dan pernah juga tanpa penghalang apa pun, sebagaimana yang dikatakan Syaikh Ibnu Baz. Demikian.
Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah tentang hadits: “Hendaklah dia shalat menggunakan pembatas.” Katanya:
فِيهِ أَنَّ اتِّخَاذَ السُّتْرَةِ وَاجِب
“Di dalam hadits ini menunjukkan wajibnya menggunakan sutrah.” (Nailul Authar, 3/2)
C. Makmum Tidak Perlu Sutrah
Pembahasan di atas adalah kaitannya dengan shalat sendiri, dan bagi imam shalat. Adapun bagi makmum dalam shalat berjamaah, maka bagi mereka sutrah imam adalah sutrah bagi mereka juga. Imam Ibnu Hajar telah membahasnya secara detail dalam Fathul Bari-nya (1/572), pada Bab Sutratul Imam Sutratul Man Khalfahu, Bab: Sutrah Imam adalah Sutrah bagi orang di belakangnya.
Tertulis dalam Fathul Bari:
وَقَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : حَدِيثُ اِبْن عَبَّاس هَذَا يَخُصُّ حَدِيثٌ أَبِي سَعِيد ” إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَدَعُ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ ” فَإِنَّ ذَلِكَ مَخْصُوص بِالْإِمَامِ وَالْمُنْفَرِد ، فَأَمَّا الْمَأْمُومُ فَلَا يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ لِحَدِيثِ اِبْن عَبَّاس هَذَا ، قَالَ : وَهَذَا كُلُّهُ لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ
Berkata Ibnu Abdil Bar: “Hadits Ibnu Abbas ini menjadi takhsis (pembatas) bagi hadits Abu Said yang berbunyi ‘Jika salah seorang kalian shalat maka janganlah membiarkan seorang pun lewat di hadapannya,’ sebab hadits ini dikhususkan untuk imam dan shalat sendiri. Ada pun makmum maka tidak ada yang memudharatkannya siapa pun yang lewat di hadapannya, sebagaimana yang ditegaskan oleh hadits Ibnu Abbas ini. Semua ini tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama.” (Ibid)
Hadits Ibnu Abbas Yang dimaksud adalah sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاس بِمِنًى فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ الصَّفِّ فَنَزَلْتُ فَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ
Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Aku datang dengan mengendarai keledai betina, saat itu aku telah bersih-bersih dari mimpi basah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di Mina, maka aku lewat di depan shaf lalu aku turun dari kendaraan keledai betina, lalu aku masuk ke shaf dan tak ada satu pun yang mengingkari perbuatan itu.” (HR. Muslim No. 504)
Hadits ini menunjukkan bahwa Ibnu Abbas berjalan di depan shaf makmum, dan tidak seorang pun mencegahnya. Artinya, larangan melewati (berjalan) di depan orang shalat, hanya berlaku jika melewati imam dan orang yang shalatnya sendiri menurut keterangan riwayat ini, melewati di depan makmum (karena ada keperluan) tidaklah mengapa. Wallahu A’lam

D. Apa sajakah Sutrah itu?
Benda-benda yang bisa dijadikan sebagai pembatas (sutrah) adalah benda suci apa pun yang minimal setinggi pelana kuda. Bisa tiang masjid, punggung manusia, dinding masjid, batu besar, tas koper, dan lain-lain.
عن نافع أن ابن عمر كان يقعد رجلا فيصلي خلفه والناس يمرون بين يدي ذلك الرجل.
Dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar sedang duduk lalu ada seorang laki-laki yang shalat di belakangnya, dan manusia lalu lalang di depan laki-laki tersebut. (Al Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah No. 2898)
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari Anas bahwa para sahabat mendekati tiang masjid ketika hendak shalat Maghrib.

Sutrah Telah Mencukupi Dengan Garis
Inilah pandangan Imam Said bin Jubeir, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Al Baihaqi, Imam Ibnu Hajar, Syaikh Ibnu Utsaimin, dan lain-lain.
Dalilnya, hadits berikut:
إذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Jika kalian shalat, maka hendaknya meletakkan sesuatu di hadapannya, kalau tidak menemukan pembatas gunakanlah tongkat, jika tidak maka buatlah garis, maka tidaklah merusakkan shalatnya orang lewat di hadapannya itu.” (HR. Ibnu Majah No. 943, Abu Daud No. 689, Ahmad No. 7386, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shughra No. 950, lihat juga Ma’rifatus Sunan wal Aatsar No. 1118, Al Humaidi dalam Musnadnya No. 993. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 541)
Disebutkan dalam Al Mausu’ah:
إِنْ لَمْ يَجِدِ الْمُصَلِّي مَا يَنْصِبُهُ أَمَامَهُ فَلْيَخُطَّ خَطًّا ، وَهَذَا عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ : ( الشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ ، وَالرَّاجِحُ عِنْدَ مُتَأَخِّرِي الْحَنَفِيَّةِ ) لِمَا وَرَدَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال : إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَل تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا ، ثُمَّ لاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ . وَلأَِنَّ الْمَقْصُودَ جَمْعُ الْخَاطِرِ بِرَبْطِ الْخَيَال كَيْ لاَ يَنْتَشِرَ ، وَهُوَ يَحْصُل بِالْخَطِّ .
وَرَجَّحَ الْكَمَال بْنُ الْهُمَامِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ صِحَّةَ التَّسَتُّرِ بِالْخَطِّ وَقَال : لأَِنَّ السُّنَّةَ أَوْلَى بِالاِتِّبَاعِ
Jika seorang yang shalat tidak mendapatkan sesuatu yang bias dipasang di hadapannya, maka hendaknya dia membuat garis. Ini adalah menurut mayoritas ahli fiqih (Syafi’iyah, Hanabilah, dan yang rajih (argumentatif) dari kalangan muta’akhirin Hanafiyah), karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika kalian shalat, maka hendaknya meletakkan sesuatu di hadapannya, kalau tidak menemukan pembatas gunakanlah tongkat, jika tidak maka buatlah garis, maka tidaklah merusakkan shalatnya orang lewat di hadapannya itu.” Karena maksud dari sutrah adalah membatasi imajinasi agar terikat dan tidak ke mana-mana, dan hal itu sudah tercapai oleh adanya garis. Kamaluddin bin Al Hummam dari kalangan Hanafiyah menguatkan sahnya sutrah dengan garis, dan dia berkata: “Karena sunnah lebih utama untuk diikuti.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 24/179-180)
Tidak sedikit ulama yang menolak garis dijadikan sutrah. Berikut keterangan dari Al Mausu’ah:
وَقَال الْمَالِكِيَّةُ : لاَ يَصِحُّ التَّسَتُّرُ بِخَطٍّ يَخُطُّهُ فِي الأَْرْضِ ، وَهَذَا قَوْل مُتَقَدِّمِي الْحَنَفِيَّةِ أَيْضًا وَاخْتَارَهُ فِي الْهِدَايَةِ ؛ لأَِنَّهُ لاَ يَحْصُل بِهِ الْمَقْصُودُ ، إِذْ لاَ يَظْهَرُ مِنْ بَعِيدٍ
Kalangan Malikiyah berpendapat: tidak sah membuat sutrah dengan garis di tanah, ini pendapat generasi terdahulu kalangan Hanafiyah juga dan dipilih dalam kitab Al Hidayah, karena garis tidak membawa kepada maksud adanya sutrah, karena dia tidak Nampak dari kejauhan. (Ibid)
Kemudian, ketika membahas hadits Shahih Muslim: “Jika salah seorang kalian meletakkan di hadapannya setinggi pelana kuda, maka shalatlah dan janganlah dia peduli dengan apa-apa yang ada di belakangnya.” Imam Al Qadhi ‘Iyadh membantah kebolehkan membuat batas (sutrah) sekadar garis karena hadits ini. Berikut ini keterangannya:
وَاسْتَدَلَّ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى بِهَذَا الْحَدِيث عَلَى أَنَّ الْخَطّ بَيْن يَدَيْ الْمُصَلِّي لَا يَكْفِي
“Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah berdalil dengan hadits ini bahwa membuat garis tidaklah mencukupi bagi orang yang shalat.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4/216)
Sebab hadits yang menyebutkan sutrah hanya sekadar garis adalah dhaif menurutnya. Berikut keterangan selanjutnya dalam:
وَلَمْ يَرَ مَالِك رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى وَلَا عَامَّة الْفُقَهَاء الْخَطّ . هَذَا كَلَام الْقَاضِي ، وَحَدِيث الْخَطّ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَفِيهِ ضَعْف وَاضْطِرَاب
“Imam Malik dan kebanyakan fuqaha tidaklah berpendapat tentang garis.” Demikianlah ucapan Al Qadhi. Dan hadits tentang garis diriwayatkan oleh Abu Daud, sanadnya idhtirab (goncang)” (Ibid).
Bagi yang ingin mengetahui pembahasan lengkap tentang hadits dari Abu Hurairah bahwa sutrah sudah cukup dengan garis silakan buka link ini.
Selesai. Wallahu A’lam.

Sutrah (Pembatas) Ketika Shalat dan Pembahasannya





Para Ulama yang mewajibkan Sutrah
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)
dakwatuna.com – Bagi kelompok ini, hadits-hadits yang memerintahkan memasang pembatas menunjukkan kewajibannya, sebab hukum asal dari perintah adalah menunjukkan wajib selama belum ada dalil lain yang membelokkan kewajiban tersebut.
Pihak yang mengatakan sutrah adalah wajib, telah menafsirkan bahwa makna ucapan Nabi “ ’Ala Ghairi Jidar (Tidak menghadap dinding)” bukan berarti tanpa sutrah. Menurut mereka sutrah ada tetapi bukan dinding (ghairu jidar), melainkan tombak. Lantaran dalam riwayat shahih yang lain disebutkan bahwa Nabi membawa tombak ketika shalat menuju lapangan lalu menjadikannya sebagai sutrah. Apa yang dipahami mereka ini tentu harus ditunjukkan oleh dalil, bahwa hadits tentang ‘tombak’ yang memberikan rincian terhadap hadits ‘Ala Ghairi Jidal, wajib ditinjau kembali secara dirayah (pemahamannya). Benarkah hadits tombak itu menjadi perinci dan penjelas bagi hadits ‘Ala ghairi jidar?
Yang benar adalah keduanya merupakan hal yang terpisah dan merupakan dua peristiwa yang berbeda. Dengan kata lain, Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pernah shalat menghadap tombak, dan pernah juga tanpa penghalang apa pun, sebagaimana yang dikatakan Syaikh Ibnu Baz. Demikian.
Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah tentang hadits: “Hendaklah dia shalat menggunakan pembatas.” Katanya:
فِيهِ أَنَّ اتِّخَاذَ السُّتْرَةِ وَاجِب
“Di dalam hadits ini menunjukkan wajibnya menggunakan sutrah.” (Nailul Authar, 3/2)
C. Makmum Tidak Perlu Sutrah
Pembahasan di atas adalah kaitannya dengan shalat sendiri, dan bagi imam shalat. Adapun bagi makmum dalam shalat berjamaah, maka bagi mereka sutrah imam adalah sutrah bagi mereka juga. Imam Ibnu Hajar telah membahasnya secara detail dalam Fathul Bari-nya (1/572), pada Bab Sutratul Imam Sutratul Man Khalfahu, Bab: Sutrah Imam adalah Sutrah bagi orang di belakangnya.
Tertulis dalam Fathul Bari:
وَقَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : حَدِيثُ اِبْن عَبَّاس هَذَا يَخُصُّ حَدِيثٌ أَبِي سَعِيد ” إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَدَعُ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ ” فَإِنَّ ذَلِكَ مَخْصُوص بِالْإِمَامِ وَالْمُنْفَرِد ، فَأَمَّا الْمَأْمُومُ فَلَا يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ لِحَدِيثِ اِبْن عَبَّاس هَذَا ، قَالَ : وَهَذَا كُلُّهُ لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ
Berkata Ibnu Abdil Bar: “Hadits Ibnu Abbas ini menjadi takhsis (pembatas) bagi hadits Abu Said yang berbunyi ‘Jika salah seorang kalian shalat maka janganlah membiarkan seorang pun lewat di hadapannya,’ sebab hadits ini dikhususkan untuk imam dan shalat sendiri. Ada pun makmum maka tidak ada yang memudharatkannya siapa pun yang lewat di hadapannya, sebagaimana yang ditegaskan oleh hadits Ibnu Abbas ini. Semua ini tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama.” (Ibid)
Hadits Ibnu Abbas Yang dimaksud adalah sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاس بِمِنًى فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ الصَّفِّ فَنَزَلْتُ فَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ
Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Aku datang dengan mengendarai keledai betina, saat itu aku telah bersih-bersih dari mimpi basah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di Mina, maka aku lewat di depan shaf lalu aku turun dari kendaraan keledai betina, lalu aku masuk ke shaf dan tak ada satu pun yang mengingkari perbuatan itu.” (HR. Muslim No. 504)
Hadits ini menunjukkan bahwa Ibnu Abbas berjalan di depan shaf makmum, dan tidak seorang pun mencegahnya. Artinya, larangan melewati (berjalan) di depan orang shalat, hanya berlaku jika melewati imam dan orang yang shalatnya sendiri menurut keterangan riwayat ini, melewati di depan makmum (karena ada keperluan) tidaklah mengapa. Wallahu A’lam

D. Apa sajakah Sutrah itu?
Benda-benda yang bisa dijadikan sebagai pembatas (sutrah) adalah benda suci apa pun yang minimal setinggi pelana kuda. Bisa tiang masjid, punggung manusia, dinding masjid, batu besar, tas koper, dan lain-lain.
عن نافع أن ابن عمر كان يقعد رجلا فيصلي خلفه والناس يمرون بين يدي ذلك الرجل.
Dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar sedang duduk lalu ada seorang laki-laki yang shalat di belakangnya, dan manusia lalu lalang di depan laki-laki tersebut. (Al Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah No. 2898)
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari Anas bahwa para sahabat mendekati tiang masjid ketika hendak shalat Maghrib.

Sutrah Telah Mencukupi Dengan Garis
Inilah pandangan Imam Said bin Jubeir, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Al Baihaqi, Imam Ibnu Hajar, Syaikh Ibnu Utsaimin, dan lain-lain.
Dalilnya, hadits berikut:
إذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Jika kalian shalat, maka hendaknya meletakkan sesuatu di hadapannya, kalau tidak menemukan pembatas gunakanlah tongkat, jika tidak maka buatlah garis, maka tidaklah merusakkan shalatnya orang lewat di hadapannya itu.” (HR. Ibnu Majah No. 943, Abu Daud No. 689, Ahmad No. 7386, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shughra No. 950, lihat juga Ma’rifatus Sunan wal Aatsar No. 1118, Al Humaidi dalam Musnadnya No. 993. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 541)
Disebutkan dalam Al Mausu’ah:
إِنْ لَمْ يَجِدِ الْمُصَلِّي مَا يَنْصِبُهُ أَمَامَهُ فَلْيَخُطَّ خَطًّا ، وَهَذَا عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ : ( الشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ ، وَالرَّاجِحُ عِنْدَ مُتَأَخِّرِي الْحَنَفِيَّةِ ) لِمَا وَرَدَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال : إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَل تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا ، ثُمَّ لاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ . وَلأَِنَّ الْمَقْصُودَ جَمْعُ الْخَاطِرِ بِرَبْطِ الْخَيَال كَيْ لاَ يَنْتَشِرَ ، وَهُوَ يَحْصُل بِالْخَطِّ .
وَرَجَّحَ الْكَمَال بْنُ الْهُمَامِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ صِحَّةَ التَّسَتُّرِ بِالْخَطِّ وَقَال : لأَِنَّ السُّنَّةَ أَوْلَى بِالاِتِّبَاعِ
Jika seorang yang shalat tidak mendapatkan sesuatu yang bias dipasang di hadapannya, maka hendaknya dia membuat garis. Ini adalah menurut mayoritas ahli fiqih (Syafi’iyah, Hanabilah, dan yang rajih (argumentatif) dari kalangan muta’akhirin Hanafiyah), karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika kalian shalat, maka hendaknya meletakkan sesuatu di hadapannya, kalau tidak menemukan pembatas gunakanlah tongkat, jika tidak maka buatlah garis, maka tidaklah merusakkan shalatnya orang lewat di hadapannya itu.” Karena maksud dari sutrah adalah membatasi imajinasi agar terikat dan tidak ke mana-mana, dan hal itu sudah tercapai oleh adanya garis. Kamaluddin bin Al Hummam dari kalangan Hanafiyah menguatkan sahnya sutrah dengan garis, dan dia berkata: “Karena sunnah lebih utama untuk diikuti.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 24/179-180)
Tidak sedikit ulama yang menolak garis dijadikan sutrah. Berikut keterangan dari Al Mausu’ah:
وَقَال الْمَالِكِيَّةُ : لاَ يَصِحُّ التَّسَتُّرُ بِخَطٍّ يَخُطُّهُ فِي الأَْرْضِ ، وَهَذَا قَوْل مُتَقَدِّمِي الْحَنَفِيَّةِ أَيْضًا وَاخْتَارَهُ فِي الْهِدَايَةِ ؛ لأَِنَّهُ لاَ يَحْصُل بِهِ الْمَقْصُودُ ، إِذْ لاَ يَظْهَرُ مِنْ بَعِيدٍ
Kalangan Malikiyah berpendapat: tidak sah membuat sutrah dengan garis di tanah, ini pendapat generasi terdahulu kalangan Hanafiyah juga dan dipilih dalam kitab Al Hidayah, karena garis tidak membawa kepada maksud adanya sutrah, karena dia tidak Nampak dari kejauhan. (Ibid)
Kemudian, ketika membahas hadits Shahih Muslim: “Jika salah seorang kalian meletakkan di hadapannya setinggi pelana kuda, maka shalatlah dan janganlah dia peduli dengan apa-apa yang ada di belakangnya.” Imam Al Qadhi ‘Iyadh membantah kebolehkan membuat batas (sutrah) sekadar garis karena hadits ini. Berikut ini keterangannya:
وَاسْتَدَلَّ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى بِهَذَا الْحَدِيث عَلَى أَنَّ الْخَطّ بَيْن يَدَيْ الْمُصَلِّي لَا يَكْفِي
“Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah berdalil dengan hadits ini bahwa membuat garis tidaklah mencukupi bagi orang yang shalat.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4/216)
Sebab hadits yang menyebutkan sutrah hanya sekadar garis adalah dhaif menurutnya. Berikut keterangan selanjutnya dalam:
وَلَمْ يَرَ مَالِك رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى وَلَا عَامَّة الْفُقَهَاء الْخَطّ . هَذَا كَلَام الْقَاضِي ، وَحَدِيث الْخَطّ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَفِيهِ ضَعْف وَاضْطِرَاب
“Imam Malik dan kebanyakan fuqaha tidaklah berpendapat tentang garis.” Demikianlah ucapan Al Qadhi. Dan hadits tentang garis diriwayatkan oleh Abu Daud, sanadnya idhtirab (goncang)” (Ibid).
Bagi yang ingin mengetahui pembahasan lengkap tentang hadits dari Abu Hurairah bahwa sutrah sudah cukup dengan garis silakan buka link ini.
Selesai. Wallahu A’lam.

Kamis, 25 April 2013

Antara Ghibah dan Dusta


dakwatuna.com - Ghibah dan dusta merupakan dua hal, yang hampir-hampir menjadi fenomena dalam lingkup kehidupan manusia. Seringkali, di manapun manusia berkumpul dan berbicara, tidak luput dari dua hal ini, atau minimal dengan salah satunya. Jika kita perhatikan di kantor, di pasar, di rumah, di kantin atau di manapun juga, baik laki-laki maupun perempuan, senantiasa minimal ghibah (baca; membicarakan orang lain) menjadi tema sentral pembicaraan mereka. Padahal, Allah SWT memerintahkan kepada setiap insan untuk berkomunikasi dan berbicara dengan baik. Dalam salah satu ayatnya Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا*  يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا*
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (baik), niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.
Ayat di atas menggambarkan kepada kita, adanya korelasi yang kuat antara keimanan (baca; ketakwaan) dengan perkataan yang baik. Seseorang yang memiliki keimanan yang baik, insya Allah secara otomatis akan berkomunikasi dan bertutur kata yang baik. Sementara ghibah apalagi dusta termasuk dalam kategori perkataan yang tidak baik. Bahkan dusta masuk dalam kategori dosa-dosa besar.
Antara Ghibah Dan Dusta
Dari segi bahasa, ghibah berasal dari kata bahasa Arab ‘Ghaba’, yang berarti ghaib (baca; tidak tampak), atau tidak terlihat:
الغيبة لغة مشتق من فعل غاب أو الغيب، وهو كل ما غاب عن الإنسان
Oleh karena itulah, dari segi bahasa, ghibah berarti membicarakan orang lain yang ghaib (baca; yang tidak hadir) di antara orang yang sedang membicarakannya. Baik pembicaraan tersebut mengenai hal-hal yang positif darinya, ataupun yang bersifat negatif.
Adapun dari segi istilah, ghibah adalah pembicaraan yang dilakukan seorang muslim mengenai saudaranya sesama muslim lainnya dalam hal-hal yang bersifat keburukan dan kejelekannya, atau hal-hal yang tidak disukainya.
Sedangkan dusta, adalah kita membicarakan sesuatu yang terdapat dalam diri seseorang yang sesungguhnya sesuatu itu tidak terdapat dalam diri saudara kita tersebut. Sehingga dari sini, perbedaan antara ghibah dengan dusta terletak pada obyek pembicaraan yang kita lakukan. Dalam ghibah, yang kita bicarakan itu memang benar-benar ada dan melekat pada diri orang yang menjadi obyek pembicaraan kita. Sedangkan dalam dusta, sesuatu yang kita bicarakan tersebut, ternyata tidak terdapat pada diri seseorang yang kita bicarakan. Hal ini secara jelas pernah digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahukah kalian, apakah itu ghibah? Para sahabat menjawab, ‘Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘engkau membicarakan sesuatu yang terdapat dalam diri saudaramu mengenai sesuatu yang tidak dia sukai. Salah seorang sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah SAW, bagaimana pendapatmu jika yang aku bicarakan benar-benar ada pada diri saudaraku? Rasulullah SAW menjawab, jika yang kau bicarakan ada pada diri saudaramu, maka engkau sungguh telah mengghibahinya. Sedangkan jika yang engkau bicarakan tidak terdapat pada diri saudaramu, maka engkau sungguh telah mendustakannya. (HR. Muslim)
Dusta dan Ghibah Dalam pandangan Islam
Baik ghibah maupun dusta, sesungguhnya merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah SAW:
Mengenai dusta, Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 22: 30):
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ*
‘Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.’
Bahkan dusta ini masuk dalam kategori dosa-dosa besar yang senantiasa harus dijauhi oleh setiap mukmin. Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW pernah mengatakan:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قُلْنَا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ فَمَا زَالَ يَقُولُهَا حَتَّى قُلْتُ لاَ يَسْكُتُ (رواه البخاري)
“Dari Abu Bakrah RA, Rasulullah SAW bersabda: ‘Maukah kalian aku beritahu tentang dosa-dosa yang paling besar di antara dosa-dosa besar? Kami menjawab, tentu wahai Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengatakan, ‘Yaitu, menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua.’ Beliau berdiri, kemudian duduk, lalu mengatakan lagi, ‘dan perkataan dusta serta persaksian dusta… perkataan dusta dan persaksian dusta….’ Beliau terus mengucapkan itu, hingga aku katakan bahwa beliau tidak berhenti mengucapkannya.” (HR. Bukhari)
Ayat-ayat dan hadits-hadits lainnya yang membicarakan masalah ghibah masih cukup banyak. Namun dari kedua dalil di atas, kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa dusta merupakan perbuatan tercela yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah SAW. Bahkan Rasulullah SAW secara langsung mengkategorikannya pada perbuatan dosa-dosa besar yang paling besar.
Sedangkan mengenai ghibah, sebagaimana dusta, banyak ayat-ayat maupun hadits-hadits yang melarangnya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dalam (QS. 49: 12):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ*
‘Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.’
Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةَ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ (رواه أبو داود)
Dari Said bin Zaid RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya riba yang paling bahaya adalah berpanjang kalam dalam membicarakan (keburukan) seorang muslim dengan (cara) yang tidak benar. (HR. Abu Daud)
Kedua dalil di atas telah cukup menunjukkan kepada kita mengenai bahaya ghibah. Dalam ayat (QS. 49: 12) Allah mengumpamakan ghibah seperti orang yang memakan daging saudaranya sendiri yang telah meninggal. Sedangkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasulullah SAW mengumpamakannya dengan riba yang paling berat dan berbahaya. Oleh karena itulah, bagi setiap muslim harus berusaha secara maksimal untuk meninggalkan kedua penyakit lisan yang ternyata sangat berbahaya ini. Kita dapat membayangkan, sekiranya setiap hari kita diumpamakan seperti menyantap makanan yang terbuat dari daging saudara kita sendiri? Selain itu kita juga diumpakan selalu berinteraksi dengan riba yang paling berbahaya dan paling besar dosanya di sisi Allah SWT? Na’udzu billah min dzalik.
Kondisi Diperbolehkannya Ghibah dan Dusta
Meskipun demikian, memang ada beberapa kondisi tertentu di mana kita diperbolehkan untuk dusta dan ghibah.
1. Kondisi diperbolehkannya dusta
Dalam hadits dijelaskan oleh Rasulullah SAW mengenai beberapa keadaan di mana seseorang dihalalkan untuk berdusta, berdasarkan hadits berikut:
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ (رواه الترمذى)
“Dari Asma’ binti Yazid RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Dusta tidak diperkenankan melainkan dalam tiga hal; seorang suami berbicara kepada istrinya agar istrinya (lebih mencintainya), dusta dalam peperangan dan dusta untuk mendamaikan di antara manusia (yang sedang bertikai)” (HR. Turmudzi)
2. Kondisi diperbolehkannya ghibah
Dr. Sayid Muhammad Nuh dalam Afat Ala al-Thariq (1996: III/ 52) mengungkapkan ada enam hal, di mana seseorang diperbolehkan untuk ghibah, yaitu:
1. Tadzalum.
Yaitu orang yang teraniaya, kemudian mengadukan derita yang diterimanya kepada hakim, ulama dan penguasa agar dapat mengatasi problematika yang sedang dialaminya. Dalam pengaduan tersebut tentu ia akan menceritakan keburukan orang yang menganiaya dirinya. Dan hal seperti ini diperbolehkan. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
لاَ يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا*
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
2. Meminta bantuan untuk merubah kemungkaran & mengembalikan orang yang maksiat menjadi taat kepada Allah SWT, kepada orang yang dirasa mampu untuk melakukannya. Seperti ulama, ustadz atau psikolog. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda,
‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya. (HR. Muslim).
Sementara meminta bantuan kepada orang yang lebih mampu, masuk dalam kategori merubah kemungkaran dengan lisan.
3. Meminta fatwa.
Seperti seseorang yang meminta fatwa kepada ulama dan ustadz, bahwa saudaraku misalnya menzhalimiku seperti ini, maka bagaimana hukumnya bagi diriku maupun bagi saudaraku tersebut.
Dalam salah satu riwayat pernah digambarkan, bahwa Hindun binti Utbah (istri Abu Sufyan) mengadu kepada Rasulullah SAW dan mengatakan, wahai Rasulullah SAW, suamiku adalah seorang yang bakhil. Dia tidak memberikan padaku uang yang cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga kami, kecuali yang aku ambil dari simpanannya dan dia tidak mengetahuinya. Apakah perbuatanku itu dosa? Rasulullah SAW menjawab, ambillah darinya sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik (baca; ma’ruf)” (HR. Bukhari)
4. Peringatan terhadap keburukan atau bahaya.
Seperti ketika Fatimah binti Qais RA datang kepada Rasulullah SAW dan memberitahukan bahwa ada dua orang pemuda yang akan meminangnya, yaitu Muawiyah dan Abu Jahm. Rasulullah SAW mengatakan, ‘Adapun Muawiyah, ia adalah seseorang yang sangat miskin, sedangkan Abu Jahm, adalah seseorang yang ringan tangan (suka memukul wanita).” (HR. Muslim)
5. Terhadap orang yang menampakkan kefasikan & kemaksiatannya, seperti minum khamer, berzina, judi, mencuri, dan membunuh. Terhadap orang yang seperti ini kita boleh ghibah. Apalagi terhadap orang yang menampakkan permusuhannya kepada agama Islam dan kaum muslimin.
6. Untuk pengenalan.
Adakalanya seseorang telah dikenal dengan julukan tertentu yang terkesan negatif, seperti para periwayat hadits ada yang dikenal dengan sebutan A’masy (si rabun), A’raj (pincang), Asham (tuli), A’ma (buta) dsb. Mereka semua sangat dikenal dengan nama tersebut. Jika disebut nama lain bahkan banyak perawi lainnya yang kurang mengenalnya. Meskipun demikian, tetap menggunakan nama aslinya adalah lebih baik. Bahkan jika dengan namanya tersebut dia telah dikenal, maka tidak boleh menggunakan julukan yang terkesan negatif.
Cara Untuk Menghindari Dusta dan Ghibah
Sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap penyakit tentu ada obatnya. Demikian juga dengan penyakit hati dan lisan, seperti dusta dan ghibah. Allah memberikan berbagai jalan untuk manusia agar dapat mengobati dirinya dari penyakit-penyakit seperti ini, di antaranya adalah:
1. Dengan meningkatkan rasa ‘muraqabatullah’ yaitu sebuah rasa di mana kita senantiasa tahu, bahwa Allah sangat mengetahui segala tindak tanduk yang kita lakukan, baik ketika seorang diri maupun di saat bersama-sama. Baik ketika orang yang kita bicarakan ada di antara kita ataupun tidak ada. Allah pasti mengetahuinya.
2. Meningkatkan keyakinan kita bahwa setiap orang yang kita bicarakan, pasti akan dimintai pertanggungjawabannya dari Allah SWT kelak. Dalam salah satu ayatnya, Allah berfirman (QS. 50: 18):
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ*
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.
3. Menahan emosi dan mencegah amarah. Karena keduanya merupakan faktor yang dapat membawa seseorang pada ghibah dan dusta.
4. Tabayun (baca; mengecek) terhadap informasi yang datang dari seseorang, sebelum membicarakannya pada orang lain. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 49: 6)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ*
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
5. Beramal & berusaha untuk dapat menciptakan suasana yang ‘Islami’, di lingkungan kerja, di rumah, di kantin dsb, dengan membuat kesepakatan dan ketauladanan untuk tidak membicarakan kejelekan orang lain, apalagi berbohong. Di samping itu juga keharusan adanya teguran, kepada orang yang secara sengaja atau tidak dalam membicarakan orang lain.
6. Jika kita merupakan orang yang menjadi obyek pembicaraan, kita pun harus menanggapinya dengan akhlak yang baik dan bijaksana. Kita mencek kembali, mengapa mereka membicarakan kita, siapa saksinya kemudian diselesaikan dengan baik.
7. Himbauan secara khusus kepada orang-orang yang menjadi panutan, baik dalam kantornya, masyarakatnya atau di mana saja, untuk menjauhi hal ini (ghibah dan dusta), supaya mereka yang berada di bawahnya dapat mencontoh. Karena apabila para panutan ini memberikan keteladanan yang buruk, maka para bawahannya pun akan mengikutinya.
8. Membiasakan diri untuk bertanya sesegera mungkin manakala melihat adanya fenomena seseorang yang berbuat sesuatu yang melanggar syariat, hingga kita tidak terjerumus pada keghibahan.
9. Mengajak umat secara keseluruhan untuk menghindari diri dari penyakit ini, dengan cara tidak membicarakan orang lain, tidak mendengarkan jika ada orang yang membicarakan orang lain, memberikan teguran dan lain sebagainya.
10. Mengingat-ingat kembali, tentang hukum dusta dan ghibah serta akibat yang akan ditimbulkan dari adanya hal seperti ini.
Penutup
Kita yakin bahwa setiap insan pasti pernah terjerumus dalam perbuatan maksiat. Dan kemaksiatan yang paling mudah menjerumuskan setiap insan adalah maksiat mata dan maksiat lisan. Dan di antara kemaksiatan lisan adalah dusta dan ghibah. Padahal kedua kemaksiatan ini (ghibah dan dusta) adalah termasuk dalam kategori dosa-dosa besar. Dusta, adalah dosa besar yang paling besar, yang disejajarkan dengan syirik dan durhaka pada orang tua. Sementara ghibah Allah umpamakan seperti memakan bangkai saudara kita sendiri yang telah mati. Atau seperti orang yang melakukan riba yang paling berat dan berbahaya. Jadi betapa besarnya dosa kita jika setiap hari kita ‘mengkonsumsi’ dusta dan ghibah?
Oleh karena itulah, hendaknya kita memperbaharui taubat kita kepada Allah SWT serta berjanji untuk tidak terjerumus kembali pada ghibah & dusta, semampu kita. Apalagi jika kita merenungi bahwa salah satu sifat mukmin adalah sebagaimana yang digambarkan dalam hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ (رواه البخاري)
Dari Abdullah bin Amru RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Seorang muslim adalah seseorang yang menjadikan muslim lainnya selamat (terjaga) dari lisan dan tangannya. Sedangkan muhajir adalah orang yang meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah SWT. (HR. Bukhari)
Wallahu A’lam Bis Shawab.

Jumat, 19 April 2013

Keutamaan Membaca al-Qur’an


Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah yang paling utama dan dicintai Allah. Dalam hal ini para ulama sepakat, bahwa hukum membaca Al-Qur’an adalah wajib ‘ain. Maknanya, setiap individu yang mengaku dirinya muslim harus mampu baca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Kalau tidak, maka ia berdosa.
Karena bagaimana mungkin kita mengamalkan al-Qur’an tanpa mau membaca dan memahaminya.Beriman terhadap Al-Qur’an bukan sekedar percaya saja, namun mesti dibuktikan dengan implementasi yang nyata sebagai tuntutan dari iman tersebut yaitu membaca, memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Qur’an merupakan pedoman, konsep, dan aturan hidup manusia. Dalam konteks hablum minallah, Al-Qur’an mengatur relasi hamba dengan khaliqnya. Hubungan vertikal ini dalam bahasa syariat disebut ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan dalam konteks hablum minan naas, Al-Qur’an menjelaskan tata cara pergaulan dan hubungan manusia dengan dirinya, manusia lain dan makhluk Allah lainnya. Hubungan horizontal ini dikenal dengan sebutan muamalah. Konkritnya, Al-Qur’an memberi petunjuk bagaimana mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Mengamalkan al-Qur’an merupakan kewajiban bagi setiap muslim, bahkan menjadi syarat utama menjadi seorang yang beriman. Allah swt dan Rasul-Nya saw telah memerintahkan kita untuk mengamalkan ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah, agar kita selamat dunia dan akhirat. Bahkan Rasulullah saw mengingatkan kita akan penting pengamalan terhadap al-Qur’an dan sunnah Rasul saw dengan sabdanya, “Aku tinggalkan kepada kamu sekalian dua hal, jika kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul saw.” (H.R. At-Tirmizi) Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang sesat itu orang meninggalkan ajaran al-Qur’an dan As-Sunnah.
Namun sayangnya, selama ini kebanyakan umat Islam telah meninggalkan al-Qur’an. Al-Qur’an tidak mendapat perhatian dan tidak dibaca untuk diamalkan sebagaimana mereka sibuk membaca bacaan lain selainnya. Selama ini kita mampu membaca surat kabar, majalah dan buku setiap hari, namun kita tidak mampu membaca al-Qur’an.
Kita mampu membaca dan mengkhatamkan surat kabar yang jumlah kata atau hurufnya hampir sama dengan 1 juz al-Qur’an dalam waktu belasan menit, namun kita tidak mampu membaca beberapa halaman dari al-Qur’an. Begitu pula kita mampu membaca majalah yang tebalnya seperempat atau sepertiga al-Qur’an dalam waktu beberapa jam, namun giliranya membaca al-Qur’an kita tidak mampu membaca beberapa juz dalam waktu yang sama. Bahkan kita mampu membaca dan mengkhatamkan buku novel, komik dan roman yang tebalnya sama dengan al-Qur’an dalam waktu seminggu, namun kita tidak mampu mengkhatamkan al-Qur’an dalam waktu yang sama, bahkan sebulan sekalipun. Inilah kondisi iman kita saat ini yang sangat lemah dan kritis.
Sejatinya kita bercermin kepada kehidupan orang-orang yang shalih. Mereka menjadikan al-Qur’an sebagai buku bacaan hariannya. Mereka tidak pernah bosan dan kenyang dengan al-Qur’an, sebagaimana diungkapkan oleh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, “Kalau hati kita bersih, maka kita tidak pernah kenyang dengan al-Qur’an.” Karena dengan senantiasa membaca al-Qur’an, kita akan mendapatkan banyak kebaikan.
Asy syahid Sayyid Quthub mengatakan dalam muqaddimah tafsirnya, “Hidup dalam naungan al-Qur’an adalah nikmat. Nikmat yang hanya diketahui oleh siapa yang telah merasakannya. Nikmat yang akan menambah usia, memberkahi dan menyucikannya.”
Sungguh banyak keutamaan dan keuntungan yang diperoleh bagi orang yang membaca al-Qur’an. Keuntungan tersebut tidak dimiliki oleh bacaan lainnya seperti surat kabar, majalah dan buku. Diantara keutamaan dan keuntungan orang yang membaca al-Qur’an yaitu;
Pertama: orang yang membaca Al-Qur’an akan mendapatkan syafaat (pertolongan) pada hari Kiamat nantinya berdasarkan sabda Rasulullah saw bersabda: ”Bacalah al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat nanti memberi syafaat bagi orang yang membacanya.” (H. R. Muslim). Tentunya tidak hanya sekedar membaca, juga mengamalkannya. Namun demikian, tanpa membaca al-Qur’an maka tidak mungkin kita mengamalkannya. Selain Rasulllah saw, tidak seorangpun yang mampu memberikan pertolongan kepada seseorang pada hari hisab, kecuali al-Qur’an yang dibaca selama ia hidup di dunia.
Kedua, Rasulullah saw menegaskan bahwa orang yang terbaik di antara manusia adalah orang yang mau mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an, sesuai dengan sabdanya, ”Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan yang mengajarkannya” (H.R. Bukhari). Oleh karena itu, orang yang terbaik di dunia ini bukanlah orang yang punya memiliki harta yang melimpah, jabatan maupun pangkat yang tinggi. Namun, disisi Allah Swt orang terbaik itu adalah orang yang mau belajar al-Qur’an dan mengajarkan kepada orang lain.
Ketiga, orang yang pandai membaca Al-Qur’an akan disediakan tempat yang paling istimewa di surga bersama para malaikat yang suci. Sedangkan orang yang membaca terbata-bata (belum pandai), maka ia akan diberi dua pahala yaitu pahala mau belajar dan kesungguhan membaca, sesuai dengan sabda Rasulullah saw, ”Orang yang pandai membaca Al-Qur’an akan ditempatkan bersama kelompok para Malaikat yang mulia dan terpuji. Adapun orang yang terbata-bata dan sulit membacanya akan mendapat dua pahala.” (H.R Bukhari & Muslim).
Keempat, kejayaan suatu umat Islam itu dengan membaca al-Qur’an dan mengamalkannya. Namun sebaliknya, musibah yang menimpa umat ini disebabkan karena sikap acuh tak acuh kepada al-Qur’an dan meninggalkannya. Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya Allah Swt meninggikan (derajat) ummat manusia ini dengan Al-Qur’an dan membinasakannya pula dengan Al-Qur’an” (H.R Muslim). Inilah rahasia mengapa generasi awal umat Islam (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’itabi’in) menjadi generasi terbaik umat ini sebagaimana dinyatakan oleh Rasul saw. Mengapa demikian?
Jawabannya adalah karena mereka mengamalkan al-Qur’an dan sunnah Rasul saw. Maka Islampun berjaya pada masa-masa mereka, sehingga tersebar keseluruh penjuru dunia. Namun, setelah generasi tersebut sampai saat ini umat Islam meninggalkan al-Qur’an sehingga umat Islam menjadi lemah dan hina karena dijajah oleh orang kafir, bahkan dizalimi dan dibunuh seenaknya oleh orang kafir akibat meninggalkan al-Qur’an.
Kelima, orang yang membaca dan mendengar Al-Qur’an akan mendapatkan sakinah, rahmah, doa malaikat dan pujian dari Allah. Nabi saw bersabda: ”Tidaklah suatu kaum berkumpul dalam salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah (al-Qur’an) dan mempelajarinya, melainkan ketenangan jiwa bagi mereka, mereka diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah menyebut nama-nama mereka di hadapan para Malaikat yang ada di sisi-Nya.” (H.R Muslim).
Memang, membaca dan mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an menentramkan hati kita sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah Swt, ““…Ingatlah, hanya dengan zikir (mengingat) Allah hati menjadi tenang”. (Q.S Ar-Ra’d: 28). Al-Qur’an merupakan zikir yang paling afdhal (utama). Oleh karena itu, ketenangan tidaklah diperoleh dengan harta yang banyak, pangkat dan jabatan, namun diperoleh dengan sejauh mana interaksi kita dengan al-Qur’an.
Keenam, mendapat pahala yang berlipat ganda. Rasulullah Saw bersabda: ”Barangsiapa yang membaca satu huruf Kitabullah maka ia mendapat satu kebaikan, dan satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif laam miim itu satu huruf, tapi alif itu satu huruf(H.R at-Tirmizi) Membaca “alif lam mim” saja kita mendapatkan pahala sebanyak 30 kebaikan, maka bagaimana dengan membaca sejumah ayat-ayat yang dalam satu halaman al-Qur’an? Bahkan berapa jumlah pahala yang kita peroleh bila kita mampu membaca 1 juz dengan jumlah huruf ribuan atau ratusan ribu? Tentu pahalanya sangat banyak, bahkan kita tidak sanggup menghitungnya.
Demikianlah berbagai keutamaan dan keuntungan bagi orang yang membaca dan mempelajari al-Qur’an pada bulan-bulan biasa. Maka, terlebih lagi pada bulan Ramadhan sebagai bulan al-Qur’an?! Tentu, pahalanya berlipat ganda dibandingkan dengan bulan-bulan biasa. Maka, sangatlah rugi bagi orang-orang yang tidak mau membaca dan mempelajari al-Qur’an, terlebih lagi di bulan Ramadhan yang dilipat gandakan pahala padanya. Dan keutamaan-keutamaan tersebut tidak dimiliki oleh bacaan lainnya selain al-Qur’an.
Akhirnya, marilah kita manfaatkan hari-hari di bulan Ramadhan dengan berbagai aktivitas ibadah, khususnya membaca al-Qur’an. Karena bulan Ramadhan adalah bulan al-Qur’an, maka sudah sepatutnya kita lebih mengutamakan dan menyibutkan diri dengan berinteraksi dengan Al-Qur’an pada bulan yang mulia ini, baik dengan membaca, mempelajari, memahami, mentadabburi, menghafal maupun mengamalkannya. Semoga kita bisa memanfaatkan momentum Ramadhan ini dengan sebaik mungkin dan meraih berbagai keutamaan yang disediakan di bulan ini, termasuk berbagai keutamaan membaca dan mempelajari al-Qur’an. Semoga..!!
Penulis adalah Pengurus Dewan Dakwah Aceh & pengurus Komite Penguatan Aqidah & Peningkatan Amalan Islam (KPA-PAI) kota Banda Aceh

Kamis, 11 April 2013

Etika Pelajar dalam Menuntut Ilmu dalam Islam

Seorang pelajar muslim hendaknya memiliki etika dalam mencari ilmu agar ilmu tersebut menjadi bermanfaat dan membawa berkah bukan justru menhhujatnya dihari kiamat.

Adapun 13 kiat dalam mencari ilmu sehingga dapat menuai berkah yaitu :

1. IKHLAS KARENA ALLAH

Hal utama yang harus dimiliki oleh seorang pencari ilmu adalah ikhlas karena Allah SUBHANAHU WA TA’ALA dalam berbicara dan beramal.

Rasullulah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjelaskan bahwa diterimanya amal sholeh tergantung pada niat dan keikhlasan dalam tujuan. Jadi, apabila seorang pelajar muslim selalu ikhlas, ia pasti meraih pahala yang besar dan selalu diberkahi dalam usahanya.

Imam Al-Ghazali berkata “ Beberapa malam telah kau hidupkan dengan mengulang-ulang belajar dan menelaah berbagai buku, dan beberapa malam kau haramkan dirimu untuk tidur. Aku tidak tau apa motivasi yang mendorong mu berbuat itu?. Jika niatmu untuk meraih materi duniawi, menarik serpihannya, dan memperoleh kedudukan, lalu berbangga diri dihadapan kawan-kawan dan orang-orang sesamamu, maka celakalah engkau. Celakalah engkau ..!

Namun, jika maksudmu adalah demi menghidupkan syariat nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyucikan akhlakmu, serta mengalahkan jiwamu yang selalu memrintahkan kejahatan, maka beruntunglah engkau. Beruntunglah engau..!

2. AMALKAN ILMU JAUHI MAKSIAT


Dari Malik bin Dinar Rahimahullah, ia berkata: “seseorang yang berilmu namun tidak mengamalkannya, maka nasehatnya selalu meleset dari hati, seperti tetesan air meleset dari batu yang licin”.

Banyak dalil dari kitab dan sunnah juga pandangan ulama tentang mengamalkan ilmu dan peringatan terhadap ilmu tanpa amal, sekaligus ucapan yang tak disertai dengan perbuatan (Q.S.As-Shaff/61: 2-3) dan (Q.S Al-Baqarah/2:44).

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang pengaruhnya dapat dilihat oleh orang lain dalam diri si empunya ilmu, sebagai cahaya di wajahnyadan rasa takut kepada Allah dalam hatinya, istiqomah dalam tingkah lakunya, jujur kepada Allah dan kepada sesama manusia dan kepada dirinya sendiri. Serta ilmu itu disertai amal dan itulah ilmu yang tak terputus. Sebuah hadist berbunyi “ Apabila mati anak adam terputuslah amalnya keculai 3 perkara, yaitu : shodaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang sholeh”.

Seorang pelajar harus berjuang melawan dirinya sendiri dengan meninggalkan maksiat, untuk menolongnya mendapatkan keberkahan ilmu dan cahayanya. Karena maksiat adalah kegegelapan dalam hati., dan hati yang gelap tidak memiliki tempat untuk cahaya ilmu didalamnya, kecuali dengan bertaubat dan bersikap jujur bersama Allah SUBHANAHU WA TA’ALA.

Oleh sebab itu, pencari ilmu harus mengontrol keadaan dirinya, senantiasa melakukan intropeksi diri dan memohon diri ketika berhasrat melakukan maksiat. Selain itu, ia harus berhatimu-hati terhadap tipu daya nafsu dan bisikan setan.

3. TAWADHUK

Allah memerintahkan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersikap tawadhuk, merendahkan hati dan berlemah lembut. “ Dan rendakanlah hatimu bagi orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman (QS. Asy-Syuara/26:215).

Dari Mujahid rahimahullah, ia berkata, “ Tidak akan bisa belajar seorang pemalu dan seorang yang sombong ”. Dari Fudhail bin Iya’ah rahimahullah, ia berkata. “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala mencintai orang pandai yang tawadhuk dan membeci orang pandai yang arogan. Barang siapa bertawadhuk karena Allah niscaya Allah wariskan kepadanya Ilmu hikmah.

Dari Masna rahimahullah, ia berkata : “cukuplah seseorang disebut berilmu dengan takut kepada Allah dan disebut bodoh karena bangga dengan ilmunya.


4. HORMATILAH ULAMA DAN MAJELIS ILMU

Diam dan Dengarkanlah !

Apabila penuntut ilmu mendengar dari gurunya sebuah hadist atau suatu masalah yang sudah ia ketahui, seharusnya ia tidak ikut berbicara dalam meriwayatkannya, akan tetapi diamlah dan dengarkanlah.
Jangan Banyak Berdebat

Rasulullah memperingatkan kita agar menjahui debat, jika tak dilakukan dengan lebih baik, sebagaimana sabda-nya : “ Tidaklah suatu kaum tersesat setelah meraih hidayah kecuali karena mereka suka berdebat“.

Imam Malik rahimahullah berkata “ Berdebat tentang ilmu membuat hati menjadi besar menjadi besar dan memancing caci-maki “.

Jangan Banyak Bertanya 

Bertanya adalah kunci ilmu. Akan tetapi bertanya hanya untuk tujuan mendapatkan pengetahuan dan pemahaman sekalgus mendapatkan kebenaran.

Imam Ghazali berkata :

Barangsiapa melontarkan pertanyaan dan sanggahan dengan perasaan hasad dan benci, maka meskipun setiap kali kamu jawab dengan jawabaan terbaik, terbenar, dan terjelas pun tidak menambahkan kepadanya selain kebencian dan permusuhan. Karena itu, janganlah kamu repot-repot menjawabnya”.

Hasan bin Ali berkata kepada putranya, “Hai anakku, jika kamu bergaul dengan ulama, maka jadilah kamu orang yang lebih suka mendengarkan dengan baik dan janganlah kamu memutuskan pembicaraan seseorang meskipun ia berbicara panjang, sehingga ia berhenti berbicara”.

5. BERSABAR

Perbuatan taat yang lebih membutuhkan kesabaran adalah mencari ilmu untuk meraih ilmu untuk meraih ridha Allah Subhanahu wa ta’ala, lebih-lebih karena jiwa cenderung kepada perilaku santai dan bermalas-malas.

Usaha mencari ilmu membutuhkan pengorbanan besar, bersusah payah, sedikit tidur, meninggalkan aneka kenikmatan dunia, mendatangani para ulama, belajar ulang, berfikkir, mengikuti pelajaran dan sebagainya.

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir, bahwa ia berkata :

“ Aku mendengar ayah berkata : Ilmu tidak bisa diraih dengan santai”.

Said bin Jubair rahimahullah berkata, “seseorang tetap menjadi orang berilmu selama ia tetap belajar. Jika ia meninggalkan belajar dan mengira bahwa dirinya sudah cukup dengan apa yang dimiliki, maka ketika itulah ia menjadi orang bodoh”.


6. TERUSLAH MENCARI
- Bertanya adalah kunci ilmu. Bertambahnya ilmu dengan berusaha mencari dan diraihnya ilmu dengan bertanya. Ilmu diperoleh dengan lisan yang pandai bertanya dan hati yang selalu berfikir dan berdzikir.

- Berambisilah mendaptkan ilmu. Seorang penyair berkata: “Sebaik-baik penghibur dan teman adalah buku”. Seperti hadist yang berbunyi “Saudaraku, takkan kau capai ilmu kecuali dengan 6 hal, kan ku beritahu kepadamu rinciannya dengan jelas : Cerdas, bersemangat, bersungguh-sungguh, bekal materi, bersama guru, dan waktu yang panjang”.


Al-Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan dari Al-Junaid bahwa ia berkata : “ Tak seorang pun yang mencari sesuatu dengan sungguh-sungguh dan jujur kecuali ia pasti mendapatkannya. Kalau pun tidak meraih semuanya, maka sebagiannya.

7. JUJUR DAN AMANAH

Ada beberapa masalah yng harus dtegaskan agar pelajar muslim tidak terjerumus dalam pengkhianatan dan kebohongan.

- Siaga dan Perhatikan Saat Menerima Ilmu : Dalam hal ini pelajar diharapkan memiliki sifat amanah dlam mencari ilmu agar benar-benar siaga dalam mencari ilmu.

- Kembali kepada kebenaran ketika salah : Jika menyampaikan suatu pendapat kemudian disanggah oleh orang yang lebih tinggi ilmunya, atau sejajar, atau dibawahnya, sehingga ia tahu bahwa pendapatnya salah dan yang benar adalah pendapat sahabatnya, maka ia menarik kembali pendapatnya dan berterima kasih kepada sahabatnya.

- Menjauhi kecurangan dalam ujian dan karya ilmiah.

Pelajar yang amanah memiliki kedudukan terhormat dan tinggi, sehingga banyak orang mengambil manfaat dari ilmunya, bahkan jumlah orang yang mengambil manfaat darinya semakin banyak.

8. SEBARKAN DAN AJARKAN

Dhahak bin Muzahim rahimahullah berkta : “ Pintu pertama ilmu adalah diam, yang ke-2 mendengarkannya, yang ke-3 mengamalkannya dan yang ke-4 menyebarkan dan mengajarkannya”.

Abdullah bin Mubarak rahimatulah berkata, “orang yang bakhil akan terkena tiga musibah” :

- ia mati kemudian ilmunya hilang.
- ia melupakannya
- ia mengekor pada penguasa


9. ZUHUD TERHADAP DUNIA

Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, menjauhi apa yang ada di dalamnya, menjauhi manusia dan memakai pakaian yang kasar, compang-camping. Melainkan mengambil dari dunia segala sesuatu yang mendukung untuk taat kepada Tuhan, menjadikan dunia, harta dan perhiasan hanya ditanganmu saja bukan di hatimu dan menjadikan usahamu dalam dunia untuk membantu ketaatan di akhirat.

Allah tidak menjadikan 2 hati dalam rongga dada manusia. Oleh karena itu tidak akan bertemu dalam hati seorang muslim, yaitu dalam 2 hal :
1. Semangat mencari ilmu dan mencintainya
2. Semangat memburu dunia serta memperebutkan kesenangannya

10. MENJAGA DAN MEMANFAATKAN WAKTU

Ada 2 nikmat yang banyak orang melalikannya : kesehatan dan kesempatan

Pepatah mengatakan :

Ilmu tak akan pernah memberimu sebagiannya sampai engkau memberikan seluruh jiwamu, kepadaNya”.

A. Memanfaatkan Masa Muda

Belajar diwaktu muda dengan pikiran yang sempurna dan otak yang segar membuat hapalan lebih mudah melekat dengan kuat.

B. Jangan Suka Menunda-Nunda

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “jauhilah sikap suka menunda-nunda (taswif), sebab engkau hidup dihari ini bukan dihari esok. Jika esok masih ada, bersikaplah seperti hari ini.

C. Waktu – Waktu Luang dan Pikiran Santai

Waktu pagi adalah waktu yang baik untuk belajar karena pada waktu itu, kondisi kita luang, pikiran masih jernih dan tubuh masih segar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Waktu utama adalah waktu sahur (menjelang subuh), sebab merupakan waktu istijabah (pengabulan doa) dan waktu turunnya rahmat”.

Dari Ismail bin Uwais, ia berkata : “Jika engaku ingin mengahapal sesuatu, maka tidurlah. Lalu bangunlah menjelang subuh, nyalakan lampu dan perhatikan tulisan niscaya engaku tidak melupakannya. Insya Allah”.

Sebaik-baik waktu adalah waktu sebelum subuh/saat zuhur), pertengahan siang, waktupetang sebelum Isya. Menghafal dimalam hari lebih baik dari pada menghapal di siang hari.

Imam Ibnu Jamaah rahimahullah berkata, “Janganlah elajar ketika lapar, haus, sedih, marah, mengantuk dan stress. Jangan pula belajar dalam kondisi dangat dingin dan terik yang sangat menyengat, sebab akan mengganggu”.

Jangan Lupa Berdo’a : “Ya Allah berkahilah umurmu dan jadikanlah umur itu penuh kebahagian karena ketaatan kepada Mu”.

11. KAJILAH ILMU BERULANG-ULANG


Dari Az-Zuhri berkata : “ Yang bisa menghilngkan ilmu itu hanya lupa dan tidak mengulang (mudzakarah)”.

Dari Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad bahwa ia berkata : “Hati itu laksana tanah, ilmu adalah tanamannya dan mudzakarah adalah airnya, ketika siraman air terputus dari tanah, maka keringlah tanamannya”.

12. SOPAN DAN MEMILIKI RASA MALU

Al- Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata, “ Orang yang berilmu dan ahli berfatwa, tidak ada sesuatu yang lebih ia butuhkan dari sikap santun, tenang dan sopan. Itulah kelambu bagi ilmuny dab perhiasannya. apabila ia kehilangn itu, maka ilmunyaseperti badan yang telanjang tanpa busana.

Sopan dan punya rasa malu adalah sifat yang harus dimiliki oelh setiap pelajar, agar berbeda dari teman-teman dan para tetangganya. Karena itu, seorang pelajar idak boleh bersenda gurau bersama mereka, dan tidak menyibukkab diri denga urusan remeh sebab hal itu akan menghilangkan kemuliaan dan kedudukannya.

“ Sesungguhnya Allah mencintai perkara-perkara yang luhur dan mulia dan membenci perbuatan yang hina “. Malik berkata, orang yang mencari ilmu harus memiliki sifat sopan, takut kepada Allah dan menelusuri jejak orang-orang sebelumnya.
Banyak bercanda dan tertawa akan menurunkan wibawa dan menghilangkan muni’ah (harga diri).

13. BERSAHABAT DENGAN ORANG SALEH

Seseorang tergantung kepada agama teman akrabnya, karena itu, hendaklah seseorang memperhatikan siapakah yang akan dijadiakan teman akrab”.

Sahabat merupakan penarik kalau ia saleh maka ia akan menggandengmu kepada kebaikan, namun kalau tidak baik maka ia akan merusak agama dan duniamu, serta menyibukkanmu dengan urusan dunia, sehingga engkau terhalang dari belajar, berprestasi dan ilmu yang bermanfaat.
Ali bin Abu Thabib r.a, berkata, janganlah bergaul dengan orang yang bodoh jauhkan dirimu darinya dan dia darimu. Betapun banyak orang penyantun binasa karena bergaul dengan orang bodoh. Seseorang dinilai dari sahabatnya sebab seseorang sama dengan sahabatnya.
sumber : http://mrizalismail.blogspot.com/2013/01/etika-pelajar-dalam-menuntut-ilmu-dalam.html#.UWaBKaI9Hj4