Al-'Ashr

<a href="http://www.clock4blog.eu">clock for blog</a>
Free clock for your blog

Senin, 25 Februari 2013

Meningkatkan Iman dan Amal Ibadah


Oleh : Tgk. H. Tamlicha Hasan, Lc
Al Qur’an tidak diturunkan kecuali dengan dua tujuan utama. Pertama menantang dan melemahkan manusia dan jin untuk membuat serta menyaingi Al Quran itu sendiri. Argumentasi ini membuktikan kebenaran dakwaan Muhammad SAW sebagai seorang rasul yang menerima wahyu dari Allah SWT. Klausul akhir dari tantangan ini adalah ajakan untuk beriman dan berserah diri kepada Allah SWT.

Perhatikan firman-firman berikut ini: "Katakanlah, sungguh jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan nya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu sebagian yang lain”. (QS. Al Isra’: 88)

Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu”. Katakanlah: “(jika demikian), maka datangkan sepuluh surat yang dibuat-buat menyamainya, dan panggil orang-orang yang sanggup (kamu memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”. (QS. Hud: 13)

Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buatnya”. Katakanlah: “(bila benar perkataan kamu itu), maka cobalah datangkan satu surat seumpamanya dan panggil siapa saja yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. (QS. Yunus: 38)

Tujuan kedua dari penurunan Al Quran adalah untuk menjadi petunjuk/ hidayah kepada manusia. Petunjuk dalam kehidupan dan kematian, aqidah, ibadah, berikut akhlak-prilaku, secara individu maupun kolektif. Bersifat teritorial juga lintas batas. Petunjuk ini meliputi aspek-aspek ilmu pengetahuan, kebudayaan, kemasyarakatan (sosial), ekonomi, politik, ranah suasana situasi damai ataupun konflik dan perang. Di samping menghilangkan kebingungan, keletihan, dan keputus-asaan untuk sampai pada tujuan.

Taburan petunjuk juga menjanjikan kebahagiaan dunia-akhirat bagi orang atau bangsa yang menjadikan Al Quran sebagai landasan hukum, dengan sikap optimistis berbalut ketentraman. Al Quran menggambarkannya dengan sebutan “tibyaanan likulli syai-in wa hudaa wa rahmatan wa busyra lil muslimin”(QS. An Nahl: 89). Kalimat “tibyaanan likulli syai-in” mengilhami keluasan samudera bagi para mujtahid untuk menyelami aturan-atauran hukum serta menjaring mutiara logika wahyu sebagai solusi berbagai persoalan yang timbul dan mendinamika.

Bila kita menelusuri kajian ini dengan seksama, kita akan diantar pada klausul akhir dari dua tujuan utama tersebut, berupa ajakan untuk beriman kepada Allah SWT, beribadah dan berserah diri hanya kepadaNya. Iman berasal dari kata “a-mana” yang memiliki arti“pembenaran dan percaya”.

Dasarnya dapat dipahami dari firman Allah dalam surat Yusuf ayat 17:“…wamaa anta bi-mukmin lanaa walau kunnaa shaadiqiin”. Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar”. Dari berbagai kajian ayat dan hadis Nabi SAW, para ulama mendefinisikan iman dengan: “Kepercayaan sungguh-sungguh dalam hati terhadap segala yang datang dari Nabi SAW dan diyakini sebagai bagian dari agama”. Iman disebut juga i’tikad yang tidak berbaur dengan keraguan. Setiap orang yang memiliki i’tikad ini, sungguh ia sebagai mukmin yang meng-esa-kan Tuhan. Ada pula sebutan lainnya yaitu aqidah.

Lebih sederhana dapat kita formulasikan pemahamannya bahwa: Percaya (tashdiq) akan adanya Allah dinamai i’tikad, dan adanya Allah (wujud Allah) disebut dengan aqidah. Tashdiq esa Allah adalah i’tikad, adapun esa Allah adalah aqidah. Atas dasar arahan Al Quran-Hadis pula disimpulkan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang. Ini dibuktikan dengan sebutan derajat tingkatan orang baik dan posisi orang berdosa yang tetap disematkan gelar “orang-orang yang beriman”.

Pengertian iman yang dinyatakan oleh para ulama tersebut sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 285: Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, dan rasul-rasulNya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan seseorangpun di antara rasul-rasulNya…”.

Relevansi Iman-Ibadah
Sebagai landasan yang sangat prinsipil, iman menderu laksana gemuruh air terjun. Memiliki kemampuan mengukir karakter sanubari. Kemurnian iman diibaratkan danau jernih nan teduh, merepleksikan ketenangan dan ketentraman bathiniah. Iman yang pasti tanpa rengkuhan rasa ragu bersemayam dalam hati. Dengan kata lain, tempat iman adalah hati.

Adapun ibadah sebagai aktivitas penghambaan adalah konsekwensi dari iman itu sendiri. Baik ibadah mahdhah atau ghairu mahdhah, berupa pujian dan perbuatan dilakukan dengan menggunakan sarana hati, lisan, dan anggota badan. Hati adalah kekuatan yang menggerakkan selainnya, sementara sikap lisan dan anggota tubuh adalah cerminan dari bagian-bagian hati.

Seorang yang beriman sangat memahami bahwa kenikmatan hati hanya diperoleh bila Allah SWT Tuhan Pencipta dijadikan sebagai sembahannya. Al Quran mengajarkan kita: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan bila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhan mereka bertawakkal. Mereka orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenarnya…”(Al Anfal: 2-4)

Andaikan dunia ibarat di lautan, orang beriman akan gunakan perahu syariat dalam lajur ibadatnya membidik Allah sebagai dermaga akhir pelayarannya. Allah swt menjadi asa baginya. Untuk merealisir capaian asa ia mesti mencintai Allah swt melebihi cinta kepada selainNya.

Seorang yang beriman sangat arif mensikapi bahwa ia butuh pada manfaat, jauh dari mudharat. Dari sini ia mesti memiliki perspektif tentang manfaat dan mudharat. Manfaat adalah kelezatan nikmat, dan mudharat adalah azab derita kesengsaraan. Selanjutnya ia harus menelusuri jalan dan sarana menggapai manfaat itu, berikut arus dan jalur untuk menghindari mudharat.

Sadari oleh semua kita doa Nabi saw dalam hadisnya dari Aisyah ra: “Ya Allah, aku serahkan diriku padaMu, kuhadapkan wajahku untukMu, kulimpahkan urusanku kepadaMu, kukembalikan diriku untukMu, dengan segenap harapan (apa yang ada disisiMu) dan penghambaan untukMu, sungguh tiada tempat kembali dan pelindung kecuali padaMu dan olehMu”.(HR Bukhari, Muslim, dan Ashhab As Sunan).

Dari Al Barra’ bin Azib, Rasul saw berdoa: “ Aku berlindung dengan ridhaMu dari murkaMu, aku berlindung dengan kemaafanMu dari siksaMu, dan aku berlindung dariMu denganMu”.(HR Muslim, Abu Dawud, At Tirmizi, An Nasai, dan Ibnu Majah).

Perspektif ini sangat nyata pada kalimat: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin”. Beribadah agar dekat dan diridhai. Memohon pertolongan supaya memperoleh kebajikan serta menjauhkan kemudharatan.

Sungguh iman itu adalah urusan hati, amal ibadah yang dilakukan dengan lisan dan anggota badan adalah kesempurnaan dari iman itu sendiri. Iman yang tidak dihiasi dengan amal ibadah, bagai pepohonan yang tidak disirami air. Semakin lama ia akan semakin layu, kering dan mati. Sebaliknya, taburan iman yang aplikatif dengan amal, bagai benih kecambah dilahan subur yang terus disirami hujan kehidupan. Ia tumbuh besar, bercabang, tinggi menjulang, berbunga, dan berbuah disetiap musim. Jadilah sepertinya, jalan terbentang luas. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar