Al-'Ashr

<a href="http://www.clock4blog.eu">clock for blog</a>
Free clock for your blog

Jumat, 15 April 2011

Menyangka banyak amal, ternyata tak punya apa-apa

"Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): 'Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah.' Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." (Surat Ali 'Imran: 195)


Ayat ini diturunkan sebagai jawaban sekaligus penjelasan atas pertanyaan kaum perempuan yang diwakili oleh Ummi Salamah. Diriwayatkan oleh Abdurrazak, Said bin Manshur, Tirmidzi, Hakim, dan Ibnu Abi Hatim, dari Ummi Salamah bahwa pada suatu hari Ummi Salamah berkata kepada Rasulullah saw, "Wahai Rasulullah, aku belum mendengar Allah swt menyebut secara khusus tentang kaum wanita dalam al-Qur'an mengenai peristiwa hijrah." Maka Allah menurunkannya.

Amal lelaki dan perempuan setara

Dalam Islam, perempuan bukanlah manusia kelas dua. Lelaki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama. Sederajad, setingkat, dan tiada yang lebih baik, kecuali atas dasar amal perbuatannya.

Seluruh isi al-Qur'an ditujukan untuk semua ummat manusia, baik lelaki maupun perempuan. Jika kata-kata yang dipakai al-Qur'an dengan sebutan mudzakkar (laki-laki), maka hal itu berarti bersifat umum, yang artinya berlaku untuk lelaki dan perempuan. Suatu ayat baru berlaku khusus bagi perempuan jika disebut secara khusus.

Ummu Salamah, istri Rasulullah mewakili kaumnya merasa kurang sreg dengan kebijakan Allah ini. Sebagaimana kaum feminis saat ini, ia protes kenapa al-Qur'an hanya membicarakan kaum lelaki, sementara pembicaraan tentang kaum perempuan hanya sedikit sekali. Padahal, menurutnya kaum perempuan selalu ikut aktif pada setiap even penting perjuangan Islam.

Yang pertama kali membenarkan kerasulan Muhammad adalah perempuan, Khadijah. Yang menjadi syahid pertama dalam Islam juga perempuan, yaitu Sumaiyah. Yang menjadi intelijen, informan, merangkap pembawa bekal makanan ketika Rasulullah dan Abu Bakar bersembunyi di dalam Gua Tsur pada saat hendak hijrah ke Madinah adalah juga perempuan, yaitu Asmaa.

Peran perempuan dalam perjuangan Islam tidak bisa diabaikan. Sejarah telah membuktikan bahwa mereka telah berjuang, bersusah-payah, memeras keringat, mengucurkan air mata, dan bersimbah darah bersama kaum lelaki dalam menegakkan kalimatullah hiyal 'ulya. Pantas saja jika kemudian ada protes seperti yang dilontarkan oleh Ummu Salamah kepada Rasulullah, sebagaimana yang melatari turunnya ayat di atas.

Suara perempuan ternyata sangat didengar oleh Islam. Buktinya, segera setelah pertanyaan Ummu Salamah, Allah menurunkan ayat di atas sebagai jawaban bahwa semua amalan kaum perempuan tidak akan disia-siakan oleh Allah, alias akan dinilai sama dengan amal yang dilakukan oleh kaum lelaki. Tentu saja dengan satu syarat bahwa amalan itu benar-benar dilandasi oleh nilai iman. Perbuatan itu tidak ditujukan demi untuk mengejar sesuatu, murni, ikhlas semata-mata karena Allah swt. Tentang hal ini Allah berfirman:

"Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang shalih, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab." (QS al-Mu'min: 40)

Amal yang tidak sia-sia

Semua amalan, baik yang shalih maupun yang jahat akan diperhitungkan oleh Allah. Yang baik akan dibalas dengan kebaikan yang berlipat ganda, baik ketika masih di dunia maupun ketika di akhirat. Sedangkan amal kejahatan juga akan diperhitungkan. Khusus tentang amal kejahatan ini, balasannya akan setimpal dengan kejahatan yang dilakukannya. Allah tidak menzhalimi manusia, kecuali mereka sendirilah yang berbuat zhalim terhadap dirinya mereka sendiri. Demikian juga dengan amal shalih, asal dilandasi ikhlas.

Niat merupakan pangkal dari segala amal. Islam tidak hanya memandang suatu amal dari lahirnya semata-mata, tapi juga dari aspek yang menggerakkan amal tersebut. Bisa jadi suatu amalan itu kelihatannya baik, tapi jika didasari oleh niatan yang jahat, maka amalan itu akan dinilai merah oleh Allah. Dia Maha mengetahui apa yang nampak dan mengetahui pula yang disembunyikan manusia dalam hatinya.

"Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati." (QS al-Mu'min: 19)

Sebelum beramal hendaknya seseorang terlebih dahulu memperhatikan apa yang sedang bergolak dalam hati. Jika ada motif yang kurang baik, seperti riya', bangga diri, sombong, keinginan untuk mendapat pujian, penghormatan, ataupun imbalan materi, maka hendaknya hal itu ditekan dengan
sungguh-sungguh. Jika belum juga berhasil hendaknya mentarbiyah hati dengan memperbanyak dzikir, tazkiyatul-qalb, dan riyadhah yang lebih intensif lagi.

Niat saja masih belum cukup menjadi sebab diterimanya suatu amalan, baik amalan ibadah maupun amalan lainnya. Selain niatnya baik, amalan itu sendiri harus benar sesuai dengan tuntunan syari'ah. Untuk itu seseorang yang beramal dipersyaratkan terlebih dahulu mengetahui apa yang sedang dan akan dikerjakannya.

Banyak orang yang niatnya sudah benar akan tetapi karena tidak mempunyai cukup ilmu maka amalnya menjadi sia-sia. Sungguh sangat disayangkan, sudah bersusah-payah, ternyata tidak sesuai tuntunan syari'ah. Ibarat main tinju di luar ring, mana bisa juara dunia?

Iman yang benar akan menuntun seseorang berbuat dan beramal semata-mata karena Allah swt. Ia membersihkan segala amal perbuatannya dari segala motivasi selain karena-Nya. Ikhlas, murni semata-mata karena mengharapkan ridha-Nya.

Adapun ilmu akan menuntun seseorang berbuat dan beramal secara baik dan benar. Dengan ilmu seseorang menjadi mengerti isi dan substansi amalnya. Juga memahami dan menjalankannya sesuai dengan tuntunan syariat.

Kebangkrutan amal
Ketika seseorang mati, ia tidak disertai oleh siapapun atau oleh apapun. Kaum kerabatnya, termasuk suami atau istri yang tercinta tidak ikut menemaninya di kubur. Mereka hanya sampai di pemakaman dan untuk seterusnya ia dibiarkan berjalan sendiri menghadap Allah swt.

Harta benda yang dikumpulkan selama ini, termasuk rumah tinggal yang dibangun dengan susah-payah, saham di beberapa perusahaan, tanah dan kebun yang membentang luas, berbagai koleksi pakaian dan perhiasan, tak satupun yang dibawa serta. Ia mati hanya membawa selembar kain kafan.

Hanya satu yang setia menemani manusia hingga ketika masuk liang lahat, yaitu amal perbuatannya. Orang-orang yang selama hidupnya beramal shalih, tentu akan menuai hasilnya. Amal itulah yang menjadi bekal sekalius kendaraannya dalam perjalanan panjang menuju kepada Allah swt.

Di antara orang yang beramal kebaikan, ada di antaranya yang tidak mendapatkan apa-apa ketika di akhirat. Mereka yang selama hidup di dunia menyangka telah banyak berbuat baik, ternyata menemukan amalnya tidak sedikitpun tersisa. Semuanya hangus, hilang dan musnah. Itulah orang yang merugi, dan kerugiannya tidak bisa ditebus dengan apapun juga.

Siapakah mereka yang tergolong hamba-hamba seperti ini? Mereka adalah yang termasuk dalam firman Allah berikut ini, "Katakanlah, 'Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan di dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat." (QS al-Kahfi: 103-105)

Pengirim : suan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar